Jumat, 05 Januari 2001

Di Tengah Himpitan Ideologi Harmoni

Judul Buku: Konflik Sosial: Kajian Sosiologis Hubungan Buruh, Perusahaan dan Negara di Indonesia
Penulis: Dr. Susetiawan
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Agustus 2000
Tebal: xxiv + 346 halaman


Di setiap masyarakat, kelompok buruh merupakan kelas sosial lapisan bawah, baik secara sosial maupun ekonomi. Biasanya, akan selalu berbagai masalah yang menumpuk di kehidupan mereka. Artikulasi antara lingkungan kerja dan perusahaan, komunitas tempat asal kaum buruh, dan instrumen negara bahkan telah menciptakan kondisi yang semakin mempersempit ruang mobilitas sosial mereka.
Buku yang semula adalah disertasi doktoral di Universitas Bielefeld Jerman ini adalah sebuah penelitian lapangan terhadap dua perusahaan tekstil di Yogyakarta sepanjang bulan April 1992 hingga bulan Januari 1993 mengenai hubungan antara nilai-nilai kultural dengan cara pengorganisasian dan konstruksi sosiologis kondisi-kondisi kerja perusahaan
Hubungan antara kaum buruh dengan pemilik modal (perusahaan) menurut teori sosiologi bisa ditempatkan dalam kerangka konflik atau fungsional. Menurut Karl Marx hubungan sosial antara kaum borjuis dengan proletar bersifat konflik karena berada dalam medan kepentingan yang berbeda. Perubahan sosial terjadi akibat dari proses dialektis antara kedua kepentingan ini. Sedangkan Emile Durkheim melihat hubungan perburuhan sebagai hubungan fungsional yang harmonis antara buruh dan pemilik modal.
Dari perspektif sejarah, ternyata nilai-nilai kultural telah lama menjadi variabel penting dalam potret sosiologis kehidupan industri di Indonesia. Pemerintah kolonial Belanda pun memiliki kepekaan yang cukup tinggi untuk memanfaatkan nilai-nilai kultural ini demi kepentingan mereka. Nilai-nilai budaya tradisional yang mengakar pada masyarakat Jawa dijadikan instrumen untuk mengontrol para buruh.
Strategi ini terus berlanjut pada masa pemerintahan Orde Baru. Kontrol pemerintah terhadap gerakan buruh dilakukan dengan memanipulasi konsep hubungan industrial Pancasila dengan instrumen nilai-nilai kultural itu. Konsep harmoni, gotong-royong, atau kekeluargaan ditafsirkan secara sepihak untuk meredam protes-protes terhadap perusahaan.
Hal ini terjadi karena dalam iklim negara yang sedang berkembang, intervensi negara dalam mengontrol aktivitas ekonomi masyarakat memang begitu kuat, terutama untuk menjamin terciptanya stabilitas sosial yang mantap. Perusahaan, yang memiliki kepentingan ekonomi cukup kental menyambut situasi ini dengan menempatkan orang-orang yang dekat dengan kekuasaan sebagai penghubung untuk memperoleh akses yang mudah bagi aktivitas perusahaan. Sementara dalam kenyataannya kontrol terhadap kebijakan perusahaan secara de facto dimiliki oleh pemilik modal.
Posisi nilai-nilai kultural ditafsirkan secara berbeda menurut orientasi kepentingan ekonomi masing-masing kelompok (buruh dan pemodal). Ideologi harmoni misalnya digunakan perusahaan sebagai alat legitimasi sistem kontrol yang diterapkan di perusahaan, sementara buruh menjadikan konsep harmoni untuk menyerang pelanggaran yang dilakukan perusahaan terhadap hak-hak mereka.
Instrumentalisasi nilai demi kontrol kerja ini dilakukan perusahaan dan buruh sejak tahap rekrutmen pekerja. Dari dua perusahaan yang diteliti terungkap bahwa hanya 17,1% saja pekerja yang masuk perusahaan melalui prosedur resmi (dengan lamaran dan tes). Lainnya, memanfaatkan koneksi kekeluargaan atau melalui pekerja yang sudah mapan di perusahaan itu. Prinsip tolong-menolong melandasi pilihan tindakan pola perekrutan ini. Perusahaan juga membiarkan hal ini berlangsung karena dengan cara ini perusahaan dapat melakukan kontrol secara lebih tepat terhadap loyalitas pekerja.
Dalam aktivitas kerja sehari-hari, perusahaan menjadi satu-satunya pembuat keputusan bagi hampir setiap kondisi kerja kaum buruh, mulai dari pengaturan jam kerja, besarnya upah dan tunjangan kerja, dan juga asuransi. Organisasi buruh di kedua perusahaan itu sama sekali tidak dapat berfungsi untuk menyalurkan aspirasi pekerja, malah menjadi instrumen untuk membantu perusahaan mengontrol para pekerja. Jadinya, protes-protes yang muncul lebih bersifat individual, bukan kolektif, sehingga tidak memiliki kekuatan tawar yang kuat.
Menghadapi himpitan kehidupan yang keras ini, ada beberapa kiat yang dilakukan oleh para buruh, sesuai dengan penafsiran mereka terhadap nilai-nilai kultural yang dimilikinya. Ada buruh yang menafsirkan harmoni sebagai loyalitas terhadap majikan, ada pula yang berkooperasi dengan pihak perusahaan menurut kepentingan individual, dan ada yang memaknai harmoni sebagai prinsip untuk mengritik kebijakan perusahaan yang melanggar aturan-aturan ketenagakerjaan.
Konflik sosial yang terjadi di perusahaan ini ternyata tidak hanya melibatkan kaum buruh dengan perusahaan saja, tetapi juga terjadi antara sesama buruh. Akibatnya, kinerja buruh di perusahaan juga mengalami penurunan. Kontrol perusahaan sendiri ternyata tidak berhasil menyelesaikan konflik-konflik kepentingan ini dengan baik. Lemahnya kinerja ini kadang-kadang dijadikan sebagai bentuk protes oleh kaum buruh terhadap kebijakan represif perusahaan.
Letak urgensi buku ini adalah kemampuannya untuk menggambarkan posisi buruh di tengah kolaborasi kepentingan negara dan perusahaan. Posisi tawar kaum buruh yang memang lemah semakin terpinggirkan. Penggunaan elemen nilai-nilai budaya untuk menertibkan gejolak kaum buruh sudah saatnya digeser dengan meletakkan nilai-nilai budaya dalam posisi yang proporsional. Harmoni harus dilihat secara berdampingan dengan konflik Konflik sebenarnya dapat diselesaikan tanpa mengganggu harmoni, dengan catatan tetap memperhitungkan kepentingan berbagai pihak secara seimbang. Dialektika kepentingan antara berbagai pihak yang kemudian cenderung berwatak konfliktual tersebut juga harus dilihat sebagai sebuah kritik sosial terhadap kondisi sosial yang ada menuju suatu integrasi yang sinergis.

0 komentar: