Jumat, 19 Januari 2001

Bangsa yang Baru Belajar Demokrasi

Judul buku: Demokrasi Untuk Pemula
Penulis: Eman Hermawan dan Umaruddin Masdar
Penerbit: KLIK® (Kajian dan Layanan Informasi untuk Kedaulatan Rakyat) bekerjasama dengan DKN Garda Bangsa, Yogyakarta,
Cetakan: Pertama, September 2000
Tebal: xiv + 108 halaman



Bangsa Indonesia ternyata memang masih awam dalam berdemokrasi. Buktinya, menurut hasil survei yang dilakukan oleh Charney Research dan AC Nielsen di seluruh kota besar di Indonesia (kecuali Ambon dan Maluku) pada bulan Januari 1999 terungkap bahwa 60% rakyat Indonesia di perkotaan tidak tahu ciri-ciri sebuah demokrasi, dan 63% juga tidak tahu bagaimana demokrasi dapat mempengaruhi hidup mereka. Hanya ada 2% yang bisa menghubungkan antara pelaksanaan pemilu dengan demokrasi.
Selain dari hasil survei tersebut, realitas politik sehari-hari di Indonesia hingga saat ini masih belum menunjukkan suatu peningkatan yang cukup berarti. Reformasi sosial-politik yang gegap-gempita sejak akhir 1997 hingga saat ini hanya nyaris melahirkan ‘kerusuhan’ baik di tingkat grass root maupun di tingkat elit. Supremasi hukum hanya tinggal slogan. Yang nyata adalah perebutan kekuasaan yang dibalut dengan intrik-intrik kotor.
Inikah yang dimaksudkan Gus Dur bahwa DPR itu sama dengan Taman Kanak-Kanak, yang diucapkannya tak lama setelah ia dilantik menjadi Presiden RI? Benarkah elit-elit politik kita masih tidak paham tentang demokrasi? Atau, sudah siapkah para elit politik—termasuk Gus Dur—untuk berdemokrasi?
Dalam konteks inilah buku ini menjadi menarik untuk disimak. Buku ini dengan cara sederhana dan tidak terlalu muluk hendak menggambarkan dan memetakan secara kritis elemen-elemen kehidupan demokrasi, mulai dari masalah demokrasi sebagai alternatif sistem politik, sejarah sistem demokrasi, kritik terhadap demokrasi, dan sebagainya.
Ketika demokrasi menjadi pilihan bangsa Indonesia sebagai sistem politik di awal kelahirannya, ada banyak argumen kontekstual yang melandasi pertimbangannya. Mohammad Hatta, proklamator dan wakil presiden RI yang pertama berargumen bahwa demokrasi adalah sistem politik yang terbaik karena dalam sistem ini rakyat “bisa mementukan nasibnya sendiri”. Karena itu, demokrasi menjadi suatu sistem yang paling manusiawi. Hak untuk menentukan (nasib) diri sendiri adalah sangat penting dan menjadi bagian dari hak asasi manusia.
Masih menurut Hatta, demokrasi di Indonesia sebenarnya telah cukup memiliki akar sejarah yang panjang. Budaya demokrasi sejak lama tersebar di berbagai desa belahan nusantara. Menurut Hatta ada tiga tradisi yang dimiliki bangsa Indonesia yang dapat dihubungkan dengan watak demokrasi, yakni tradisi atau cita-cita rapat, tradisi atau cita-cita protes, serta tradisi atau cita-cita tolong-menolong. Akan tetapi, tiga akar tradisi ini menurut Hatta hanya hidup di kalangan pedesaan dan tidak mampu menembus feodalisme penguasa di nusantara.
Secara sederhana, demokrasi diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemerintahan dari rakyat berarti bahwa suatu pemerintahan terbentuk dengan legitimasi yang kuat karena diberi mandat oleh rakyat. Pemerintahan oleh rakyat berarti pemerintahan dijalankan oleh rakyat dan juga diawasi oleh rakyat. Pemerintahan untuk rakyat berarti bahwa pemerintahan dijalankan berdasarkan aspirasi dan kepentingan rakyat.
Penerapan demokrasi dalam kehidupan sehari-hari membutuhkan dua sisi yang sama-sama harus ada, yakni sisi substansial dan sisi prosedural. Sisi substansial yang dimaksudkan berarti bahwa demokrasi hanya bisa terlaksana bila berada dalam suatu kultur yang memungkinkan rakyat untuk memiliki kedaulatan yang sesungguhnya. Harus ada sikap saling menghormati kebebasan orang lain, toleransi dan sikap terbuka, dan semacamnya. Sisi prosedural berarti bahwa juga harus ada prosedur formal yang dapat mengantarkan kedaulatan itu terwujud, seperti pemilu yang jujur, DPR yang kuat, dan lembaga peradilan yang independen.
Bahaya yang selalu menguntit kehidupan demokrasi adalah dalih sekelompok orang untuk memegang teguh kepada aturan formal-prosedural demokrasi secara membabi-buta, dan mengabaikan aspek substansial dari kehidupan demokrasi. Kelompok semacam ini biasanya berdiri di atas suatu kepentingan (kelompok) tertentu yang seringkali dihubungkan dengan kelompok status-quo.
Karena itu, sistem demokrasi juga harus didukung oleh kekuatan lain yang cukup menentukan, yakni militer dan agama. Militer menjadi penting karena ia memiliki kekuasaan penuh terhadap senjata dan alat pertahanan negara serta didukung oleh kultur yang ‘taat atasan’. Sementara agama merupakan lembaga yang dapat mengklaim sebagai pemegang kebenaran, sehingga bila disalahgunakan bisa menggerogoti kehidupan demokrasi. Untuk itulah, militer harus diposisikan secara tepat dengan tidak dilibatkan dalam proses-proses politik sehari-hari, dan agama dalam konteks kehidupan demokrasi juga harus dimaknai secara positif, dengan menyebarkan pandangan bahwa agama sebenarnya mampu menyuburkan kehidupan demokrasi. Politisasi agama harus dihindari dan diwaspadai, karena seringkali melahirkan aksi kekerasan yang mengabaikan nilai kemanusiaan.
Demokrasi sendiri diperlukan karena ia selalu berusaha menyelesaikan permasalahan dengan penuh kedamaian dan semangat anti-kekerasan dengan tetap bertolak pada prinsip keadilan dan persamaan.
Buku ini menjadi penting dan bernilai kontekstual bagi bangsa Indonesia karena bangsa Indonesia saat ini sedang berada dalam proses transisi menuju kehidupan demokrasi. Untuk itu, belajar tentang demorkasi secara kritis amat penting selain untuk memperkaya teori juga untuk mewaspadai penyalahgunaan pemahaman terhadap demokrasi yang pada hakikatnya akan berakibat fatal bagi kehidupan demokrasi yang sebenarnya. Secara teknis, buku ini juga berusaha dibuat dengan gaya penyajian yang ringan sehingga dapat diakses oleh semua kalangan masyarakat.

0 komentar: