Jumat, 21 Desember 2001

Mengasah Kepekaan Kemanusiaan

Diskursus masalah hakikat manusia yang kemudian menerbitkan kesadaran nilai martabat kemanusiaan sebenarnya sudah cukup lama dilakukan, terutama di kalangan para filsuf. Demikian pula semangat rasa kemanusiaan yang menjadi spirit perjuangan sosial sudah cukup purba dimiliki oleh pelbagai kekuatan sosial, seperti agama, atau gerakan politik tertentu. Akan tetapi, pengakuan martabat manusia dalam konteks kehidupan bernegara yang lebih luas sepertinya memang merupakan sesuatu yang melalui proses panjang dan tidak serta merta terdefinisikan secara pasti. Dari sini sebenarnya tampak betapa yang namanya Hak-Hak Asasi Manusia—yang merupakan rumusan nilai martabat kemanusiaa—terbentuk secara historis-sosiologis sesuai dengan dialektika masyarakat. Lokalitas epistemologis terbentuknya nilai inilah yang memicu perdebatan masalah universalitas HAM itu sendiri.
Tulisan berikut tidak akan mengurai perdebatan klasik tersebut, tapi lebih ingin menyoroti masalah kepekaan kemanusiaan yang dalam bentangan panjang sejarah perjuangan HAM mengalami pasang-surut. Yang menarik, pasang-surut kepekaan kemanusiaan itu justru banyak pula ditentukan oleh berbagai institusi sosial yang mula-mula meniatkan untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Ambil saja contoh dua institusi sosial yang sudah cukup akrab: agama dan negara. Seringkali tindakan kekerasan yang mencederai nilai kemanusiaan dilakukan atas nama panji agama atau juga atas nama pembangunan oleh aparat negara. Penghalalan darah kelompok lain oleh suatu kelompok agama misalnya adalah suatu bentuk ekstrimisme yang mengakumulasi melahirkan keabaian orang terhadap martabat kemanusiaan. Sementara negara dengan kekuasaannya yang menggurita dapat dengan seenaknya menggusur warga miskin di perkotaan, misalnya dengan alasan penertiban dan berlindung di balik dalih peraturan.
Dalam terang pemahaman HAM yang bersifat historis-sosiologis, fenomena semacam ini dari suatu perspektif memang mengandung kewajaran, seiring dengan arus perkembangan kehidupan sosial yang semakin tak terkontrol. Anthony Giddens (1999) mengatakan bahwa proses globalisasi saat ini telah menjebak manusia dewasa dalam situasi hiruk-pikuk keserbatakpastian, yang merupakan konsekuensi logis yang inheren dari sistem relasi yang diciptakan manusia sendiri (manufactured uncertainties). Sementara harkat kemanusiaan memang amat terkait dengan perkembangan pengalaman hidup manusia. Artinya, kesadaran kemanusiaan muncul terutama sebagai respons negatif terhadap ancaman yang berusaha merenggutnya.
Pernyataan Hak Asasi Manusia yang diterima Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 10 Desember 1948 misalnya tidak hanya memuat hak-hak asasi yang diperjuangkan oleh liberalisme atau sosialisme di Barat, tapi juga mencerminkan pengalaman penindasan oleh rezim-rezim fasis dan nasional-sosialis tahun 1920-an hinggal 1940-an. Kemudian pada tanggal 9 Desember 1983 lahir Declaration of the Basic Duties of ASEAN Peoples and Governments yang tampak amat memperhatikan perkembangan konstelasi politik regional Asia (Franz Magnis-Suseno, 1994: 125).
Jadi, jelas bahwa rumusan hak-hak asasi yang merupakan salah satu representasi martabat kemanusiaan ini lahir dari pengalaman pergaulan manusia dalam kehidupan masyarakat.
* * *
Mengamati sejumlah proses sosial yang berlangsung di negeri ini, maka penting untuk dipikirkan agar elit-elit bangsa ini merenung ulang untuk mendapatkan rasa kepekaan kemanusiaan yang wajar. Persoalan perlakuan manusiawi sesuai harkat kemanusiaan terhadap warga negara di negeri ini memang cukup banyak ditentukan oleh kesadaran dan perilaku elit. Selama berpuluh-puluh tahun masyarakat Indonesia sama sekali tidak dididik untuk memiliki kesadaran kritis atas hak-hak asasi yang dimilikinya. Ini adalah bagian dari strategi negara untuk melanggengkan tindakan penindasan dan represi yang dilakukannya.
Gelombang reformasi dan terbukanya akses masyarakat luas terhadap informasi sedikit demi sedikit telah menyemaikan benih-benih kesadaran kritis masyarakat terhadap hak-hak asasi yang memang dimilikinya itu. Meski demikian, peranan para elit sosial dalam konteks ini masih amat dominan, baik itu elit negara (politisi di eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif), elit agama (ulama, rohaniawan, pemuka agama), ataupun elit akademik (ilmuwan, pengamat, peneliti). Hal ini karena berbagai institusi sosial itu saat ini justru berpeluang menjadi aktor pembunuh rasa kepekaan kemanusiaan setelah dieksploitasi oleh setting sosial modernitas yang penuh paradoks.
Pemenuhan hak-hak asasi sosial oleh negara terhadap warganya misalnya saat ini di negeri kita menjadi sesuatu yang betul-betul sulit. Di tengah suasana krisis multidimensional yang berkepanjangan, beban 40 juta penganggur—demikian menurut sebuah data—menjadi sesuatu yang amat berat. Sementara berbagai indikasi tindakan korupsi masih belum juga terselesaikan dengan baik di jalur hukum, sehingga rasa keadilan rakyat yang sudah lama menderita itu belum juga terpenuhi. Bahkan, belakangan muncul tindakan penggusuran yang tidak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga di daerah-daerah.
Sudah saatnya para pengambil kebijakan di negeri ini harus berpikir ulang tentang langkah-langkah konkret yang perlu diambil menangani masalah ini. Tidak terpenuhinya kesamaan minimal, terutama di bidang ekonomi, antara semua warga negara pada gilirannya akan menularkan bentuk ketidakadilan di bidang lainnya: sosial, politik, budaya, dan sebagainya. Peluang-peluang sosial terhadap mereka yang masih lemah perlu mendapat prioritas, sehingga akses mereka terhadap pekerjaan, keterampilan, pendidikan, informasi, teknologi, lebih terbuka lebar. Langkah semacam ini terasa lebih penting tinimbang memberi mereka segepok uang tanpa dapat mengelolanya dengan baik.
Dari sini terlihat betapa pemenuhan hak-hak asasi manusia kepada segenap warga negara adalah merupakan sine-qua-non bagi pembangunan yang adil dan beradab. Pembangunan hanya dapat disebut maju bila menunjang perkembangan manusia secara utuh, yakni bila perlakuan hormat yang utuh terhadap hak-hak asasi manusia dijunjung tinggi (Franz Magnis-Suseno, 1995, 222-223).
Elit intelektual juga telah mendapat kritik pedas dalam hal perhatiannya terhadap pengabdian martabat kemanusiaan. Adalah Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi 1998 dari India, dalam On Ethics and Economics (1988) yang secara lantang mengatakan bahwa selama ini ilmu ekonomi cenderung lebih berorientasi pada perkembangan pasar dan bisnis tingkat dunia saja tanpa memperhatikan proses-proses pembangunan ekonomi yang menurut kenyataannya telah merampas hak-hak asasi manusia. Untuk itulah, Sen dalam berbagai kajiannya selalu berusaha mempertemukan ekonomi dan etika—yang menurutnya juga sudah pernah diulas Aristoteles. Asumsi dasarnya amat sederhana: kegiatan ekonomi pada dasarnya adalah suatu kegiatan manusiawi biasa yang karena itu semestinya juga memperhatikan segi-segi etis. Dengan memberi perhatian yang lebih besar secara eksplisit terhadap pertimbangan-pertimbangan etis inilah, lanjut Sen, ilmu ekonomi nantinya dapat lebih bersifat efektif mengatasi persoalan-persoalan ekonomi masyarakat yang sebenarnya.
Demikian juga elit-elit agama perlu juga mendapat kritik atas cara-cara berpikir yang bersifat dogmatis terhadap ajaran agama, sehingga menghilangkan sifat manusiawi agama itu sendiri. Sikap semacam ini terbukti hanya akan melahirkan sikap infantilisme keberagamaan dan justru hanya semakin menyumbangkan tindakan kekerasan. Abdurrahman Wahid (1999: 167) mengkritik upaya menjadi agama sebagai alternatif terhadap kekuasaan. Menurutnya, ini justru akan berpotensi mengundang sikap represif agama untuk mempertahankan dirinya. Bagi Gus Dur, agama hanya berfungsi suplementer dan hanya menyediakan "sarana" bagi proses perubahan, karena dunia berkembang menurut "dunianya" sendiri.
Sementara itu, I. Bambang Sugiharto dan Agus Rachmat W. (2000: 263) menyerukan agar agama seharusnya memerlukan suatu lingkaran hermeneutik kritis, yakni suatu penafsiran timbal-balik antara paradigma agama dan modernitas: paradigma modern dikritik oleh agama, dan agama juga perlu dikritik oleh paradigma modern, untuk menemukan kembali energi pembebasan (humanisme) yang dimilikinya.
***
Kekuatan yang dimiliki negara dan para elit yang berada di dalamnya—selain juga elit sosial yang lain—memang sebegitu besar. Perhatian mereka terhadap rakyat kecil yang belum sepenuhnya terlindungi hak-hak asasinya mestinya harus lebih ditampakkan. Ini bukannya suatu bentuk sikap mengemis yang berlebihan, tapi lebih berdasar pada rasa keprihatinan mendalam atas nasib mereka yang terpinggirkan. Selain itu, perlakuan manusiawi antara sesama manusia tidak lain merupakan tolok ukur keberadaban sebuah masyarakat dan negara.
Salah satu tantangan yang dihadapi cara berpikir para elit saat ini adalah pola-pola pikir birokratis yang mengabaikan rasa kepekaan kemanusiaan. Fenomena kemanusiaan hanya dilihat sebagai data kering, data statistik yang tidak menyentuh naluri kemanusiaan. Di sinilah, maka usaha penegakan HAM, baik yang bersifat kultural (konsientisasi, penyadaran) maupun struktural pada dasarnya adalah suatu praksis etis yang pada momen-momen tertentu kadang harus berhadapan dengan perangkat birokrasi modern yang bersifat impersonal. Jadinya, rasa tanggung jawab sosial menjadi terkikis ditelan pola rasionalitas prosedural.
Berbagai tantangan inilah yang sudah waktunya dijawab oleh para elit dengan tindakan-tindakan nyata, bukannya retorika belaka.

Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 21 Desember 2001.

Read More..

Minggu, 09 Desember 2001

Belajar dari Pengalaman Islam di Timur Tengah

Judul Buku: Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah
Editor: M. Aunul Abied Shah, et al.
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, Juli 2001
Tebal: 350 halaman (termasuk indeks)


Adalah sesuatu yang sangat ironis bila kobaran elan vital agama di suatu kawasan tiba-tiba lindap diterpa angin waktu. Apalagi hal itu terjadi di tempat kelahiran agama itu sendiri. Ini yang dialami oleh umat Islam di kawasan Timur Tengah ketika beberapa abad terakhir mengalami kemunduran luar biasa baik di bidang sosial, budaya, politik, ekonomi dan intelektual. Diawali dengan masuknya kekuatan kolonialisme Barat di Mesir pada akhir abad ke-18, runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani akibat kolonialisme Barat, dan dilanjutkan dengan kekalahan bangsa Arab melawan Israel di tahun 1967, kaum muslim di Timur Tengah digugah untuk mempertanyakan kembali doktrin agama Islam yang dipeluknya: di mana letak kelemahan ajaran mereka sehingga semangat agama mereka itu tidak mampu membendung arus serbuan kekuatan asing, baik yang bersifat fisik maupun yang bersifat sosio-kultural?
Buku yang ditulis bersama oleh sekelompok mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh studi di Mesir ini merupakan sebuah mosaik dan pengantar mengenal pergulatan beberapa intelektual muslim Timur Tengah yang berusaha memaknai dan mengkritisi kembali warisan ajaran agama Islam untuk menjawab tantangan zaman yang dihadapinya itu. Ada dua belas tokoh yang diperkenalkan, yakni: Hasan Al-Banna, Abd Al-Halim Mahmud, Muhammad Quthb, Amin Al-Khulli, Malak Hifni Nashif Bek, Muhammad Al-Ghazali, Muhammad Imarah, Hassan Hanafi, Muhammad Syahrur, Ali Harb, Nashr Hamid Abu Zaid, dan Muhammad Al-Jabiri.
Kedua belas tokoh muslim ini sebenarnya tidak semuanya seorang intelektual murni, sebab ada beberapa di antaranya yang juga giat dalam kegiatan-kegiatan yang cenderung bersifat politik praktis dalam kerangka memenuhi motivasi ajaran agamanya. Kedua belas tokoh ini pula kurang lebih merangkum berbagai kecenderungan aliran pemikiran yang berusaha menjawab persoalan benturan Islam dan modernitas di kawasan Timur Tengah.
Tokoh pertama yang dipaparkan dalam buku ini adalah Hasan Al-Banna, seorang tokoh pergerakan Islam di Mesir yang juga adalah pendiri organisasi Ikhwan Al-Muslimin. Seperti diketahui bersama, Hasan Al-Banna dengan Ikhwan Al-Muslimin-nya telah banyak memberi inspirasi bagi kelompok muslim lainnya di berbagai belahan dunia, terutama dalam kerangka pembentukan komunitas muslim yang kuat yang tidak lain adalah cita-cita utama organisasi ini.
Setting sosial Islam di Mesir awal abad ke-20 yang mengalami berbagai kemunduran telah mendorong Al-Banna untuk mencari pemecahan yang kurang lebih bersifat ajeg dan kuat, yakni dengan memperkokoh persatuan umat Islam melalui sebuah wadah organisasi serta bersama-sama membangkitkan kembali semangat kemurnian ajaran agama yang nyaris hilang melalui gerakan dakwah yang intens. Dakwah di sini dimulai dari level individu, keluarga, masyarakat, dan komunitas negara dan pemerintahan. Di sini terlihat betapa pada akhirnya pemikiran dan pergerakan Al-Banna banyak bersentuhan dengan wilayah politik, karena dalam pandangan Al-Banna kaum muslim selama ini hidup di bawah payung negara sekuler, sehingga sulit mengaktualisasikan ajaran-ajarannya.
Sementara itu Hassan Hanafi—tokoh lain yang juga lahir di Mesir—berusaha melihat warisan pemikiran Islam dan situasi kekinian yang dihadapinya di tengah-tengah hegemoni kebudayaan asing. Ada tiga poin perhatian dari proyek intelektual Hassan Hanafi, yakni upaya penyikapan terhadap realitas kekinian dengan melakukan rekonstruksi terhadap tradisi (turats), penegasan posisi di hadapan kebudayaan Barat, dan sikap kritis terhadap realitas kekinian.
Turats (tradisi) yang dimiliki umat Islam menurut Hassan Hanafi selama ini telah banyak tercemari oleh hegemoni feodalisme yang mencekam yang tidak lain akibat ulah tangan kotor para penguasa, sehingga menyisihkan kelompok-kelompok tertindas. Untuk itulah, catatan penting Hassan Hanafi adalah ajakannya untuk bersama-sama mengeksplorasi kembali elemen-elemen budaya, kesadaran berpikir, dan potensi yang hidup dalam ajaran-ajaran Islam itu demi kepentingan kelompok-kelompok tertindas. Turats, bagi Hassan Hanafi, harus mampu menjadi titik tolak kekuatan yang revolusioner yang membebaskan bagi umat Islam. Dari sinilah lahir sebuah istilah yang cukup unik dari Hassan Hanafi, yakni Islam Kiri (Al-Yasar Al-Islami).
Proyek intelektual Hassan Hanafi penting lainnya adalah gagasannya tentang Oksidentalisme. Oksidentalisme yang secara sederhana berarti studi tentang ke-Barat-an ini dimaksudkan untuk mempertegas posisi ego (kebudayaan masyarakat Timur, Islam) di hadapan the other (kebudayaan masyarakat Barat). Selama ini Identitas kultural masyarakat Timur secara lambat-laun tersingkir dan ikut terlebur dalam identitas kultural masyarakat Barat bersama-sama dengan arus globalisasi yang hegemonik dan kian tak terbendung.
Selain Hassan Hanafi, ada pula Nashr Hamid Abu Zaid yang mengajukan kritik mendasar terhadap konstruksi nalar umat Islam memandang kitab sucinya, Al-Qur’an. Abu Zaid mengajak umat Islam untuk mengkritisi kembali pemahaman terhadap teks Al-Qur’an. Kritik pedas Hassan Hanafi terhadap nalar umat Islam ini bertolak dari keprihatinannya terhadap studi ilmu-ilmu Al-Qur’an yang selama ini berkembang, yang cenderung memperlakukan teks (Al-Qur’an) secara terlalu istimewa (mensakralkan teks secara berlebihan), sehingga menjauhkan karakter tekstual wahyu (Al-Qur’an) yang nyata-nyata dimilikinya. Akibatnya, wahyu Tuhan yang awalnya ditujukan kepada manusia sebagai anggota masyarakat dengan tujuan untuk merekonstruksi realitas demi kebaikan dan kesejahteraan manusia, lambat-laun beralih fungsi lebih dalam wilayah ilustratif-ikonik, yakni dalam kerangka gerak menaik manusia menuju Tuhan.
Untuk itu, Abu Zaid memberikan tawaran kepada umat Islam untuk mengembalikan kaitan antara kajian-kajian Al-Qur’an dengan kajian-kajian kritik sastra. Dengan pendekatan ini Al-Qur’an memang dilihat sebagai sebuah respon kultural yang memiliki akar-akar sosiologis.
* * *
Pro dan kontra yang lahir secara alamiah sesuai dengan kecenderungan keyakinan agama yang sudah dimiliki masyarakat mesti terlihat dalam menanggapi pemikiran-pemikiran tokoh dalam buku ini. Dalam buku ini sendiri digambarkan bagaimana beberapa kelompok tertentu melihat beberapa intelektual ini bergerak terlalu berani karena mengotak-atik kesucian wahyu Tuhan—seperti yang dilakukan Abu Zaid dan juga Ali Harb.Akan tetapi, justru dari berbagai perbedaan itulah kita dapat banyak belajar untuk kemudian menilai dimana letak kelebihan dan kekurangannya.
Terlepas dari itu semua, buku ini memiliki makna penting bagi umat Islam di Indonesia. Pertama-tama buku ini jelas berguna sebagai pengantar pengenalan yang cukup untuk memahami perkembangan pemikiran Islam di Timur Tengah. Yang menarik karena beberapa respon intelektual yang terjadi di Timur Tengah dan tergambarkan dalam beberapa tokoh di buku ini ternyata memiliki pengaruh yang cukup luas bagi umat Islam Indonesia dewasa ini.
Buku ini pula menunjukkan kekayaan khazanah umat Islam yang mestinya disadari dan digali bersama untuk membangkitkan kesadaran keberagamaannya di tengah situasi global. Pada bagian-bagian tertentu pula, beberapa tokoh dalam buku ini memperlihatkan kritiknya baik terhadap dogmatisme-ideologis umat Islam maupun terhadap abainya umat Islam membangun komunitas yang kokoh dan bersatu.
Sebuah pemikiran atau ajaran memang dapat berfungsi sebagai motor penggerak laju peradaban. Akan tetapi bila ia dibiarkan tergenangi nalar ideologis dan kejumudan dogmatisme, maka bisa saja ia berubah wajah menjadi hantu yang menakutkan. Bersama buku ini, kita bersama belajar terhadap pengalaman umat Islam di Timur Tengah untuk memaknai dan menyikapi warisan ajaran dan pemikiran Islam secara positif dan konstruktif, untuk membangun masa depan kemanusiaan yang lebih baik.

Tulisan ini dimuat di Harian Solopos, 9 Desember 2001.

Read More..

Minggu, 02 Desember 2001

Akar Kebencian Terhadap Tentara

Judul Buku: Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru
Penulis : Ikrar Nusa Bhakti, dkk (Tim Peneliti LIPI)
Penerbit: Mizan, Bandung bekerjasama dengan PPW-LIPI Jakarta
Cetakan: Pertama, Juli 2001
Tebal: 303 halaman


Stigma negatif terhadap kelompok tentara (TNI) sudah sedemikian mengendap dan nyaris berkarat dalam kesadaran masyarakat. Kenyataan ini memang cukup mudah untuk dimengerti. Betapa tidak, sepanjang 30 tahun lebih rezim Orde Baru berkuasa, tentara tidak berperan sebagai penjaga kepentingan nasional, melainkan menjadi pelayan kepentingan penguasa.
Akibatnya, setelah gong reformasi dibunyikan, kelompok tentara (TNI) seperti kehilangan pegangan dan dalam beberapa hal cenderung terpecah ke dalam beberapa kelompok kepentingan. Yang paling mengenaskan adalah bahwa akibat terburuk dari itu semua berdampak dalam performance TNI di era reformasi: ia susah berbuat atau berpartisipasi, karena di samping masih tersisanya antek-antek kekuatan Orde Baru di tubuh TNI, baik yang bersifat struktural maupun personal, rasa percaya diri TNI nyaris tidak ada.

Buku yang disusun oleh Tim Peneliti LIPI ini adalah sebuah upaya rekonstruksi terhadap berbagai perilaku politik TNI selama rezim Orde Baru berkuasa. Dari judul buku ini tampak bahwa TNI diasumsikan menjadi mesin politik kekerasan yang diterapkan Orde Baru. Politik kekerasan ala Orde Baru adalah ideologi kekerasan yang dibangun untuk melegitimasi berbagai kebijakan rezim selama berkuasa. Fokus kajian yang dibidik buku ini adalah berbagai tindakan kekerasan politik Orde Baru yang dikawal oleh TNI dalam meredam berbagai gejolak sosial-politik yang muncul ke permukaan.

Gejolak sosial-politik yang dimaksudkan adalah berbagai usaha perlawanan atau resistensi masyarakat terhadap represi penguasa. Secara lebih khusus buku ini memilih kasus Komando Jihad 1981 dan Tanjung Priok 1984 (kelompok Islam), kekerasan politik dalam pemilu-pemilu Orde Baru (penyerbuan Kantor DPP PDI 27 Juli 1996), aktivis mahasiswa, kelompok-kelompok marginal (petani Kedung Ombo, Nipah, dan Jenggawah), serta kasus kekerasan militer atas gerakan separatisme di Aceh dan Irian Jaya.

Berbagai gejolak sosial-politik yang berkembang di masyarakat itu menurut penelitian buku ini tidak lain bersumber dari tersumbatnya saluran aspirasi rakyat, sehingga pada akhirnya kegeraman masyarakat itu justru seperti menjelma bara dalam sekam yang siap terbakar kapan saja. Logika politik Orde Baru yang menekankan political order demi menopang ideologi pembangunanisme diterapkan dengan menempatkan kelompok TNI sebagai stabilisator politik dan cenderung menjadi penjaga keamanan rezim.

Karena itulah tidak berlebihan bila kemudian dikatakan bahwa berbagai tindakan kekerasan politik yang dilakukan jajaran militer ini disebut sebagai organized political crime. Dengan menggunakan pola yang profesional dan rapi, kalangan tentara ini juga memiliki jalinan kongkalikong yang amat erat dengan kepentingan penguasa.

Hal ini terlihat betul dalam kasus pemilihan umum selama Orde Baru. Setelah melakukan langkah depolitisasi massa terhadap parpol yang ada, rezim Orde Baru kemudian mengerahkan kekuatan tentara untuk menjamin agar partai pemerintah, yakni Golongan Karya, tetap menjadi pemenang pemilu—dengan cara apapun, bahkan dengan kekerasan. Demikian pula ketika militer digunakan untuk meredam aksi para aktivis mahasiswa.

Kasus yang lain adalah ketika terjadi perlawanan rakyat atas kasus sengketa agraria seperti di Kedungombo (Jawa Tengah), Nipah (Madura, Jawa Timur), atau Jenggawah (Jember, Jawa Timur), tentara turun tangan, bahkan dengan tanpa basa basi memuntahkan peluru tajamnya ke barisan rakyat yang melawan.

Lalu pertanyaan yang muncul saat ini—terutama dalam suasana ulang tahun TNI—adalah apa yang harus dilakukan TNI selanjutnya di alam reformasi ini? Seperti kemudian disampaikan di akhir buku ini, jika TNI ingin dihargai dan dicintai kembali oleh rakyat, tak ada cara lain kecuali TNI harus merelakan para anggotanya yang terlibat dengan berbagai kasus kekerasan politik era Orde Baru itu untuk diadili dan berjanji untuk tidak mengulanginya kembali di masa kini dan mendatang. Kemudian para politisi sipil pun harus terampil dan dengan penuh kesadaran berhati-hati agar jangan sampai terjebak dalam rayuan untuk berselingkuh dengan kelompok TNI demi tujuan kekuasaan tertentu.

Buku ini menarik dan penting dibaca, terutama untuk menjadi sahabat kritis terhadap sejarah kelam TNI di era Orde Baru, sehingga akhirnya TNI dapat bersikap yang lebih bijak pada hari-hari mendatang.

Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 2 Desember 2001.

Read More..

Selasa, 27 November 2001

Adonan Identitas Di Antara Mi dan Jilbab


Judul Buku: Perempuan Postkolonial dan Identitas Komoditi Global
Penulis: Monika Eviandaru, dkk
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2001
Tebal: 148 halaman


Globalisasi ekonomi memang tidak semata-mata gejala sosial dan ekonomi. Berbagai produk globalisasi yang bersifat material maupun yang bersifat struktural telah memberikan sejumlah efek domino yang menyentuh berbagai sisi kehidupan umat manusia, baik pada level komunitas sosial maupun pada tingkat individu. Pola-pola relasi sosial antar-manusia dan atau dengan produk-produk iptek juga mengantarkan manusia (individu) pada suatu definisi baru tentang identitas mereka.
Salah satu perubahan penting yang mengiringi proses globalisasi adalah hadirnya media massa yang juga secara efektif menjadi media promosi. Kehadiran iklan telah mampu mengubah definisi “kebutuhan” dan lebih jauh lagi definisi “identitas”. Sesuatu produk dapat menjadi sebuah “kebutuhan” hanya karena gencarnya efek iklan, dan sebuah produk dapat mencitrakan “identitas” tertentu bagi pemakainya.
Buku bagus ini adalah sebuah penelitian tentang politik ekonomi dan kebudayaan mi instan serta jilbab di kalangan masyarakat Indonesia. Buku ini berusaha menjawab soal pengaruh dua produk komoditi pop itu terhadap pembentukan identitas dan pemaknaan masyarakat Indonesia terhadap situasi perubahan tersebut.
Kehadiran mi instan menjadi menarik ketika 67,5% dari 494 responden yang diambil di Bogor, Semarang, Solo, dan Yogyakarta, mengaku mempunyai persediaan beberapa bungkus mi instan di rumah mereka, dan 87% telah mengkonsumsi mi instan lebih dari 6 tahun. Indonesia sendiri saat ini adalah produsen mi instan kedua terbesar di dunia setelah Cina daratan, dan pada tahun 2000 jumlah mi instan (dari bahan gandum) yang terjual di Indonesia diperkirakan mencapai 8,6 miliar bungkus.
Sejarah memasyarakatnya mi instan yang notabene dibuat dari bahan dasar gandum ini adalah ketika di awal Orde Baru pemerintah mengalami kesulitan bahan pangan (beras) yang cukup berat, sehingga pemerintah memperkenalkan suatu produk pangan baru yang ketika itu menjadi “cita rasa dunia pertama” (Amerika).
Selanjutnya, pencitraan yang dilakukan secara massif melalui iklan—terutama di media televisi—telah betul-betul cukup efektif mensosialisasikan mi instan. Ada beragam cara iklan membujuk konsumen Indonesia untuk mengkonsumsi produknya, mulai dari pencitraan mi instan sebagai makanan keluarga, makanan yang “lintas batas kelas sosial” (kalangan ABG, kelas atas/eksekutif, atau kelas bawah), penggunaan simbol-simbol agama, hingga penggunaan lagu nasional yang dimodifikasi.
Sebagai sebuah corak makanan global, mi instan hadir dengan penuh dilekati gagasan-gagasan “modern”. Sisi praktis mi instan sehingga ia dapat dengan mudah disajikan oleh siapa saja—termasuk oleh laki-laki—seperti tidak mengharuskan perempuan menghabiskan waktunya untuk berada di dapur, sebagaimana selama ini dikonstruksikan.
Selain itu, muncul pula pergeseran persepsi tentang definisi “makan”, yang selama ini hampir selalu harus melibatkan unsur nasi. Nasi atau bukan nasi lalu tak lagi begitu penting, seperti bergizi atau tidak bergizi tak lagi begitu dipikirkan (24,9% responden mengakui bahwa kandungan gizi mi instan masih kurang, sehingga 49,5% masih perlu menambahkan telur/daging dalam penyajiannya). Kepentingan utama untuk mengkonsumsi makanan modern ini adalah sejauh praktis, efisien, dan kenyang. Ini adalah bagian dari strategi kerja normalisasi tubuh manusia, yakni ketika tubuh dilihat sebagai bagian dari sumber daya manusia yang harus disiplin dan produktif sesuai dengan kaidah-kaidah modernitas.
Sementara jilbab, dalam buku ini dilihat sebagai bagian dari produk komoditi pop. Bagian yang awalnya merupakan penelitian Karen E Washburn ini berusaha menelusuri cara profil (tiga) perempuan (Jawa) memaknai jilbab dalam kehidupannya. Jilbab pertama-tama memang merupakan suatu bentuk lambang identifikasi orang Islam, tapi dari penelitian ini terungkap beragam cara pemaknaan yang unik.
Ada yang memandang jilbab sebagai simbol tidak mempunyai arti dalam dan personal dalam dirinya, dan kadang malah membawa diskriminasi terhadap kaum perempuan. Ada yang sebaliknya, memandang jilbab sebagai tanda bahwa pemakainya adalah muslim yang baik serta dapat menjadi alat kontrol diri. Ada pula yang melihat jilbab (dan berikutnya cadar) sebagai suatu transformasi personal dan total.
Beragam pemaknaan, baik terhadap mi instan maupun jilbab, yang tampak dari penelitian ini menunjukkan bahwa para konsumen makanan dan pakaian itu telah mengalami, memahami, dan menilai komoditi modern tersebut sebagai bagian dari pengalaman otonomi (identitas) baru yang memberdayakan. Dari sinilah, diharapkan otonomi ini dapat menentukan cara mereka menentukan keputusan-keputusan penting di bidang ekonomi, sosial, politik, atau budaya.


Tulisan ini dimuat di Majalah Gamma, 31 Desember 2001.


Read More..

Senin, 19 November 2001

Bimbingan Praktis Berfilsafat

Judul buku : Berfilsafat: Sebuah Langkah Awal
Penulis : Mark B. Woodhouse
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2000
Tebal : 240 halaman (tanpa indeks)


Orang yang mendengar kata ‘filsafat’ akan menanggapi dengan sikap yang bermacam-macam. Seringkali filsafat diasosiasikan dengan sesuatu yang berbau pemberontakan, sehingga kemudian terdengar agak ‘menyeramkan’. Secara keliru, filsafat dihubung-hubungkan dengan sesuatu yang berbau mistik. Sayangnya, berbagai pandangan itu tidak didasarkan pada suatu pengetahuan yang memadai, sehingga ia sebenarnya hanyalah prasangka-prasangka tak berdasar.

Yang lebih mengherankan adalah pandangan yang menganggap aktivitas berfilsafat sebagai sesuatu yang tidak berguna. Filsafat dianggap berbicara tentang sesuatu dengan terlalu abstrak, sehingga seperti mengajak orang melayang tanpa menjejakkan kakinya di bumi. Kesan seperti ini semakin parah karena ungkapan-ungkapan filsafat dianggap terlalu rumit dan absurd.

Buku ini adalah sebuah upaya cerdas penulisnya untuk menepis segala atribut miring yang dilekatkan kepada filsafat itu, terutama anggapan bahwa filsafat tidak bersifat praktis dan terlalu teoritis. Melalui buku ini pembaca yang masih awam filsafat diajak berkenalan dengan filsafat dengan titik tekan pada pembentukan kemampuan praktis berfilsafat—meski mungkin hanya amatiran—tanpa harus banyak meneliti persoalan-persoalan spesifik dalam cabang filsafat tertentu atau pemikiran-pemikiran dalam aliran filsafat yang begitu beragam.

Buku ini terdiri dari tujuh bab dan apindeks tentang sejarah dan pemikiran para filsuf plus glosarium istilah-istilah penting. Dua bab pertama membahas tentang objek pembahasan dan kegunaan filsafat.

Dalam dua bab awal yang menjadi semacam pengantar teoritik terhadap masalah-masalah filsafat ini, Mark B. Woodhouse menjelaskan bahwa permasalahan filsafat mencakup pertanyaan-pertanyaan mengenai makna, kebenaran, dan hubungan logis di antara ide-ide dasar yang tidak dapat dipecahkan oleh ilmu-ilmu empiris (hlm. 15). Filsafat tidak berhubungan secara langsung dengan dunia empiris. Filsafat lebih berkaitan dengan ide-ide mendasar (seperti ide tentang keadilan, kebahagiaan, cinta, dan sebagainya) dengan menekankan kepada makna dan hubungan logis di antara premis-premis yang dibangun, sehingga filsafat selalu berusaha menembus partikularitas fakta empiris (hlm. 25).

Termasuk pula dalam hal ini adalah masalah asumsi-asumsi tersembunyi yang diandaikan dalam setiap pernyataan. Filsafat tidak menghentikan penyelidikannya pada dataran fakta empiris yang dangkal. Pemikiran filsafat selalu berusaha untuk menyeberangi dan melampaui fakta, masuk ke palung samudera hakikat realitas yang tak terjamah ilmu-ilmu khusus. Dengan cara ini, pemahaman terhadap realitas dapat bersifat lebih umum, mendasar, dan mencapai hakikat yang terdalam.

Selain kehendak untuk menemukan kebenaran tertinggi (the ultimate truth) filsafat juga memiliki kegunaan praktis yang lebih jelas. Woodhouse menegaskan bahwa kegiatan berfilsafat dapat membiasakan seseorang untuk bersikap mandiri secara intelektual, lebih toleran terhadap perbedaan sudut pandang, dan semakin membebaskan diri dari dogmatisme (hlm. 47). Memang, hal-hal yang tersebut tidak semata-mata ditemukan hanya dalam aktivitas berfilsafat. Akan tetapi, cara kerja filsafat yang merayakan kebebasan intelektual serta menuntut kesetiaan kepada kekuatan dan keruntutan argumen menjadikan filsafat sebagai alternatif terbaik untuk mencapai maksud tersebut.

Implikasi yang lebih jauh dari kegiatan berfilsafat adalah terbitnya rasa kepekaan terhadap hal-hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya (hlm. 50). Filsafat mengajarkan sikap hati-hati terhadap hal-hal yang dianggap remeh-temeh. Asumsi-asumsi apriori yang dibiarkan menggelantung dalam pikiran dibongkar. Dengan cara pandang ini, tak berlebihan bila beberapa orang memandang filsafat terkesan hendak membongkar tatanan realitas yang telah mapan.

Dalam bab ketiga hingga kelima, Woodhouse sudah mulai mengajak pembaca untuk langsung berfilsafat. Sebelumnya, Woodhouse mengemukakan bahwa dalam berfilsafat ada beberapa langkah persiapan yang harus diperhatikan (hlm. 57). Misalnya, filsafat membutuhkan sikap batin yang khas: keberanian menguji sesuatu secara kritis, kesediaan mengajukan hipotesis sebagai tanggapan awal, tekad untuk menempatkan nilai kebenaran sebagai ukuran, dan kemampuan untuk memisahkan kepribadian seseorang dari materi yang dibicarakan. Berfilsafat juga mesti dikembangkan melalui praktik. Karena itu, ketika seseorang sedang belajar filsafat sebenarnya ia telah memulai berfilsafat. Dua sisi peran filsafat juga harus diingat dengan baik, bahwa ia mengemban fungsi kritis sekaligus konstruktif.

Pada tiga bab ini Woodhouse memberikan jurus-jurus ampuh dan sistematis untuk secara praktis membedah suatu persoalan dengan pendekatan filsafat. Pada bagian inilah sebenarnya cara kerja filsafat dikemukakan secara lebih rinci. Beberapa garis besar pertanyaan filsafat yang dapat diterapkan kepada suatu fakta empiris diuraikan secara baik, seperti pertanyaan apakah premis-premis yang dikandung sudah benar?, apakah konsekuensi logisnya dapat diterima?, apakah istilah-istilah kunci sudah terpahami secara benar?, dan sebagainya.

Dua bagian terakhir adalah imbuhan kemampuan praktis lainnya yang juga dibutuhkan dalam kegiatan berfilsafat, yakni tentang bagaimana cara membaca karya filsafat dan cara menulis karangan filsafat.

Sebagai buku pengantar tentang filsafat, buku ini memiliki beberapa kelebihan dibanding buku yang lain. Pertama, dengan menekankan aspek praktis Woodhouse menepis anggapan bahwa filsafat hanya bergelut dengan masalah-masalah teoritik yang abstrak. Kedua, karena mengedepankan pendekatan praktis, maka proses internalisasi kepada pembaca berlangsung secara lebih efektif. Apalagi Woodhouse melengkapi uraian-uraiannya dengan contoh dan pertanyaan-pertanyaan yang diikuti dengan jawabannya. Ketiga, secara tidak langsung Woodhouse mengajak pembaca—terutama orang yang telah bergelut dengan dunia filsafat—untuk menegaskan sisi praktis dari filsafat.

Namun, penting dicatat bahwa setiap usaha menjelaskan filsafat nyaris selalu terjebak ke dalam pemihakan epistemologis tertentu. Meski sejak awal Woodhouse sudah berusaha menghindar dari pemihakan ideologis, akan tetapi, dalam mendefinisikan filsafat, secara epistemologis Woodhouse tampak lebih berpihak kepada aliran rasionalisme yang mementingkan koherensi antar-ide tinimbang kesesuaian faktual.

Selain itu, pada bagian lain, terdapat suatu kejanggalan teoritik dalam pemikiran Woodhouse, ketika di awal ia menghendaki uraiannya lebih menekankan sisi praktis, sementara pada bagian lain Woodhouse mengatakan bahwa aktivitas berfilsafat terutama berhubungan dengan aktivitas berpikir. Padahal, kalau mau mendengarkan ujaran Karl Marx, sisi praktis mestinya lebih ditekankan, yakni ketika Marx menulis: “Para ahli filsafat hanya telah menafsirkan dunia, dengan berbagai cara; akan tetapi soalnya ialah bagaimana mengubahnya”.

Tentu, perbedaan dan pemihakan adalah sesuatu yang wajar dalam filsafat, dan itu tidak kemudian mengurangi nilai lebih buku ini. Dalam kerangka kontekstual yang lebih luas, yakni dalam konteks kehidupan sosial sehari-hari, buku ini dapat menjadi modal dasar untuk menjadi titik tolak bagi usaha-usaha menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Tradisi berpikir kritis yang tersemai dari kegiatan berfilsafat sepertinya penting untuk dimasyarakatkan.


Read More..

Selasa, 13 November 2001

Demitologisasi Melalui Seni

Judul Buku : Mantra Pejinak Ular
Penulis : Kuntowijoyo
Penerbit : Penerbit Kompas, Jakarta
Cetakan : Pertama, Oktober 2000
Tebal : xii + 243 halaman



Mengagumkan! Itulah kesan pertama yang akan ditangkap pembaca ketika membaca novel ini. Betapa tidak. Dalam kondisi kesehatan yang belum sepenuhnya pulih setelah terserang penyakit meningo encephalitis (infeksi otak) sejak 1992, Kuntowijoyo masih bisa menulis sebuah novel, sebuah karya utuh yang dapat dikatakan cukup langka dalam dunia kesusastraan Indonesia.
Apalagi bila pembaca berusaha membaca novel ini secara lebih cermat dan seksama, dalam kerangka pemikiran-pemikiran Kuntowijoyo di bidang kebudayaan dan agama (Islam) yang lebih luas, maka akan terlihat posisi khusus novel yang merupakan karya Kunto paling mutakhir ini.
Novel ini kurang lebih dapat dilihat sebagai sebuah novel sejarah yang juga membawa kredo kesenimanan Kunto. Disebut novel sejarah karena dalam karya ini Kunto berusaha mencatat proses jatuhnya rezim Orde Baru dengan latar sebuah desa pedalaman di sebuah kecamatan di Jawa Tengah. Sementara kredo kesenimanan yang dimaksudkan di sini bahwa dalam novel ini Kunto menampilkan seorang sosok seniman lokal, Abu Kasan Sapari, yang selain bergulat dengan tekanan-tekanan rezim Orde Baru di akhir kekuasaannya, juga aktif dalam kegiatan kesenian. Pergulatan Abu Kasan Sapari berhadapan dengan kuasa politik Orde Baru yang menyusup ke segenap lini kehidupan—termasuk seni—serta dinamika kehidupan pribadinya pada bagian ini menyiratkan sebaris pesan yang cukup jelas: bahwa seni harus mampu menjadi media demitologisasi.
Kisah dalam novel ini dimulai dengan kehidupan awal tokoh Abu Kasan Sapari yang lahir dari keluarga yang kurang begitu akrab dengan ritual keagamaan. Selanjutnya, Abu dibesarkan di lingkungan keluarga kakeknya, yang hidup cukup sejahtera serta taat beragama. Sejak kecil, Abu Kasan Sapari menampakkan bakat seni yang cukup bagus. Dengan bimbingan seorang dalang lokal, Notocarito, Abu beberapa kali berhasil menjuarai festival dalang cilik di Kabupaten Klaten.
Selulus SMA, Abu masuk Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) di Surakarta jurusan pedalangan. Sambil kuliah di STSI, Abu terus mendalami ilmu pedalangan dari Ki Lebdocarito, sampai akhirnya Abu memutuskan untuk tidak menyelesaikan kuliah dengan melamar pekerjaan sebagai pegawai negeri. Secara kebetulan Abu diterima sebagai pegawai lokal di bagian pembangunan desa (Bangdes) yang ditempatkan di Kecamatan Kemuning, sebuah kecamatan di kaki Gunung Lawu.
Mulailah pergulatan kehidupan Abu semakin mengental dan berliku, seiring dengan aktivitas barunya di kaki Gunung Lawu. Tak terlalu lama setelah Abu tinggal di Kemuning, Abu mengalami sebuah kejadian unik. Kejadian itu terjadi ketika Abu bersama beberapa warga desa sedang menonton cembeng di pabrik gula Tasikmadu. Di situ Abu bertemu dengan seorang tua misterius yang memberinya sebuah mantra: mantra pejinak ular.
Selama menjadi pegawai di Kemuning, Abu berusaha berperan sebaik-baiknya dalam rangka pembangunan desa. Pertama sekali Abu berusaha mencukupi kebutuhan air di Kemuning dengan membangun saluran air dari sumber dekat sendang sampai ke desa. Abu yang memiliki kesadaran lingkungan cukup tinggi kemudian mengajak warga desa membuat pagar hidup di pekarangan masing-masing.
Sementara itu, mantra pejinak ular yang ia terima kemudian dihubungkan dengan masalah pelestarian lingkungan agar mampu menjaga konservasi habitat binatang-binantang. Kecintaan Abu pada ular yang didorong oleh mantra yang diterimanya itu lalu dilanjutkan dengan kampanye kesadaran untuk mencintai lingkungan.
Dinamika kehidupan di Kemuning yang dialami Abu ternyata tidak bisa lepas dari masalah politik. Profesinya sebagai pedalang membuat Abu harus berurusan dengan Mesin Politik (Orde Baru) di Kemuning. Kemampuan Abu dalam mendalang memang cukup bagus, dan kadang-kadang tema yang diangkat Abu dalam lakon wayang yang dibawakannya amat erat dengan dunia politik. Pernah sekali Abu mementaskan lakon berjudul “Bambang Indra Gentolet Takon Bapa” atau “Bambang Indra Gentolet Menanyakan Sang Ayah” yang mengisahkan partisipasi rakyat dalam pemerintahan.Bagi Abu, itulah esensi kehidupan demokrasi.
Keterlibatan Abu dalam proses pemilihan kepala desa di Kecamatan Kemuning berupa tampilnya Abu dengan tema-tema politik membuat Mesin Politik di Kemuning mengawasi Abu dengan ketat. Akhirnya, karena aktivitas Abu yang dinilai sudah berlebihan, jadilah Abu dipindahtugaskan ke kecamatan lain, yakni Kecamatan Tegalpandan yang jauh lebih dekat ke kota Kabupaten Karangmojo, tempat ibu dan bapaknya tinggal.
Di tempat tugasnya yang baru Abu tetap diawasi oleh Mesin Politik yang ternyata memiliki sayap di mana-mana. Di tempat barunya ini, Abu sempat ditawari sebagai caleg menjelang pemilu yang akan segera digelar. Tapi Abu menolak. Bagi Abu, seorang seniman tidak boleh menggunakan seni untuk keperluan politik, dalam rangka kampanye suatu parpol. Meski begitu, seorang seniman dapat menjadi sosok yang memberikan pencerahan dan pendidikan politik bagi warga negara.
Menurut Abu, seni itu ibarat air. Kalau ada benjol-benjol dalam masyarakat, seni akan menutupinya dan menjadikannya datar. Mengutip ajaran Sunan Drajat, Abu mengatakan bahwa seni itu memberi air kepada mereka yang kehausan, memberi payung bagi mereka yang kehujanan, memberi tongkat pejalan yang sempoyongan.
Pandangan Abu ini kemudian menghasilkan suatu pergulatan sosial yang cukup intens dengan pihak Mesin Politik, sampai akhirnya muncul suatu isyarat akan ambruknya rezim kekuasaan yang tengah berkuasa. Pada suatu malam di musim kemarau, hujan lebat—yang oleh orang-orang disebut hujan salah musim—datang disertai angin ribut yang menumbangkan sebuah pohon beringin di dekat terminal Tegalpandan.
Lalu, bagaimana dengan mantra pejinak ular yang dimiliki Abu? Di akhir cerita, Abu dibuat cukup kebingungan dengan mantra ini, karena menurut si pemberi mantra, mantra ini harus diwariskan kepada orang lain. Setelah berkonsultasi dengan seorang haji di Tegalpandan, Abu akhirnya memutuskan untuk memutus mantra itu. Keputusan ini diambil Abu juga karena desakan seorang gadis, Lastri, yang menjadi kekasihnya.
Setelah memutus mantra pejinak ular itu, kisah Abu Kasan Sapari ditutup dengan kepastian Abu untuk segera menikah dengan Lastri.
* * *
Novel ini nampaknya menjadi media kristalisasi beberapa pemikiran Kunto sebelumnya. Dalam sebuah artikel di Harian Kompas (24/08/2000) berjudul "Selamat Tinggal Mitos" Kunto memotret kehidupan sosial-politik bangsa Indonesia yang belum bisa keluar dari cara berpikir yang berlandaskan kepada mitos. Aras kehidupan politik penuh dijejali dengan nalar mitologis yang menggerakkan move-move politik para elit.
Menurut Kunto, mitos mengajak orang untuk menghindari kehidupan konkret dan masuk dunia abstrak yang penuh dengan simbol. Bagi Kunto, sudah saatnya bangsa Indonesia keluar dari kungkungan cara berpikir mitologis menuju cara berpikir yang berlandaskan realitas konkret.
Menurut Kunto, ada beberapa media yang dapat menjalankan fungsi demitologisasi, yaitu ilmu dan teknologi, gerakan puritanisme agama, serta sejarah dan seni. Cara kerja seni adalah konkretisasi yang abstrak. Seni mengemban nilai-nilai abstrak yang kemudian dituangkan dalam bentuk ekspresi seni tertentu.
Pentingnya makna nilai dalam sebuah karya sastra juga pernah diungkap Kunto dalam tulisannya di Harian Kompas (28/11/1999) berjudul "Strukturalisasi Pengalaman, Imajinasi, dan Nilai". Sebuah karya sastra menurut Kunto memiliki unsur strukturalisasi pengalaman, imajinasi, dan nilai. Seorang sastrawan memungut pengalaman-pengalaman hidupnya dan menggabungkan serta merangkainya dalam suatu olah imajinasi-kreatif. Dan, yang kalah penting, sebuah karya sastra juga mengandung nilai, baik berasal dari agama, filsafat, ilmu, atau kebudayaan.
Karena itu, bisa jadi sebuah karya sastra tidak memiliki nilai kontekstual dengan realitas aktual. Pada titik tertentu sebuah karya sastra merupakan endapan pengalaman penulisnya yang lahir dari lubuk jiwa yang terdalam.
Mantra Pejinak Ular seperti merupakan upaya penegasan Kunto terhadap kredo kesenian yang diyakininya ini. Salah satu elemen yang membentuk novel ini kemungkinan besar adalah perjalanan dan pergulatan Kunto dalam dunia seni dan kebudayaan yang cukup panjang. Pembaca yang pernah membaca biografi Kunto, misalnya di rubrik Pakar di Jurnal Ulumul Qur’an Nomor 4/Vol. V/1994 akan menemukan kecurigaan jangan-jangan Abu Kasan Sapari, tokoh utama dalam novel ini, tidak lain adalah sosok yang diidealkan Kunto sendiri. Tidak kebetulan kiranya bila dalam novel ini Kunto memposisikan Abu Kasan Sapari sebagai seorang pedalang, karena di antara keluarga Kunto ada yang menjadi pedalang. Setting budaya Jawa yang kental antara tipe priyayi, abangan, dan santri—meski Kunto menolak trikotomi semacam ini, dan hanya menggunakannya dalam kerangka pembacaan metodologis—juga tampak digambarkan dalam novel ini.
Bila dibandingkan dengan karya-karya Kunto sebelumnya, yang kebanyakan berbentuk cerita pendek (cerpen), pembaca akan dapat menemukan kesinambungan atau kemiripan pesan novel ini dengan salah satu cerpen Kunto yang dinobatkan sebagai Cerpen Terbaik Pilihan Kompas 1997, berjudul Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan. Cerpen ini berkisah tentang seorang “dia” yang sedang menjalankan laku untuk menjadi kaya dengan bertapa 7 hari 7 malam dan mengakhiri dengan pergi ke kuburan dan menggigit telinga perempuan yang baru meninggal pada suatu Selasa Kliwon, kemudian membawanya dengan mulut kepada gurunya. Si “dia” berhasil membuat para penjaga kuburan tertidur dengan mantra saktinya. Sialnya, ketika si “dia” sedang beraksi menggigiti telinga mayat perempuan, datang segerombolan anjing liar yang berebut menggigit mayat itu. Si “dia” terluka, hingga akhirnya ditemukan oleh para penjaga yang kaget terbangun. Di akhir cerita Kunto menggambarkan bagaimana para penjaga berbeda pendapat menilai si “dia” yang tergeletak pingsan karena terluka oleh gigitan anjing itu: “pencuri” atau “penyelamat”?
Dalam analisis Ignas Kleden yang mengantarkan 18 cerpen terbaik Kompas 1997, dikatakan bahwa selain menggambarkan dilema etis para penjaga kuburan, cerpen ini juga menunjukkan bagaimana mantra yang digunakan si “dia” untuk memperkaya diri ternyata kalah dengan anjing kelaparan yang tak mempan mantra serta juga sedang mencari “nafkah”.
Dibandingkan dengan Mantra Pejinak Ular, cerpen ini menggambarkan lebih banyak aspek dilematis dari suatu pengalaman kemanusiaan yang diperankan tokoh-tokohnya. Ada ruang yang cukup luas bagi pembaca untuk menafsir ulang dialektika tokoh dalam cerpen tersebut. Yang jelas, antara cerpen dan novel Kunto ini, kurang lebih ada pesan yang kiranya bersifat sinambung: bahwa mantra itu ternyata memiliki keterbatasan dan mestinya harus dienyahkan!
Upaya untuk membuang mitos menurut Kunto adalah bagian dari Islamisasi dari unsur-unsur Jawaisme yang menghambat proses modernisasi. Dalam sebuah artikel di Harian Republika (18/4/1998) berjudul "Islamisasi Jawaisme" Kunto menulis bahwa mantra dan mitos adalah termasuk dari bagian yang perlu “diislamkan”.
Sebagai alternatif, di bagian akhir novel ini Kunto secara implisit mengajukan “doa”—sesuatu yang khas agama—sebagai pengganti mantra. Ini bisa dilihat dengan judul bagian terakhir dari novel ini: “Tuhan, Beri Kami Ilmu yang Bermanfaat; Tuhan, Hindarkan Kami dari Malapetaka”. Dengan judul ini seolah Kunto ingin mengatakan bahwa ilmu dapat menggantikan cara berpikir mitologis, dan semestinya kita hanya berpasrah diri kepada Tuhan, Yang Maha Segalanya.
Gagasan-gagasan Kunto yang bisa ditafsir dari novel yang semula dimuat bersambung di Harian Kompas ini menarik untuk didiskusikan bersama. Dalam kerangka lebih luas, nilai lebih novel ini terlihat dari keterkaitannya dengan berbagai sisi pemikiran Kunto lainnya yang sudah digagas jauh bertahun-tahun sebelumnya, sehingga terkesan memiliki latar belakang pemikiran yang cukup matang.
Akan tetapi, terhadap karya sastra dengan model seperti ini, beberapa kalangan pernah mengajukan “keberatan”: tidakkah perilaku seperti ini adalah “perilaku buruk terhadap bahasa”—seperti kata Nirwan Dewanto di Harian Kompas (29/6/97). Ahmad Sahal misalnya ketika mengantarkan Cerpen Terbaik Kompas 1999 menilai bahwa meski menampakkan suatu komitmen sosial yang tinggi, model cerita (karya sastra) semacam ini menjadi terlalu “lurus”, bahasanya terlalu diskursif dan memilah serta memperlakukan cerita sebagai kendaraan dan instrumen untuk menyampaikan gagasan penulisnya. Bagi Ayu Utami (Jurnal Kalam, edisi 12/1998, hal. 124) sebuah kisah tidak berpretensi untuk menyampaikan sebuah ajaran jika bisa disampaikan dengan dalil atau pedoman. Sebuah kisah adalah pengalaman, yang tak mempunyai jalan keluar lain.
Pandangan ini memang berbeda dengan Kunto yang juga pernah menempatkan karya sastra dalam kerangka profetis—seperti yang pernah ia lakukan terhadap ilmu-ilmu sosial (lihat tulisan Kunto di Republika [22-23/11/2000] berjudul "Islam dan Seni"). Dengan nilai profetis seni Kunto menegaskan bahwa seni dapat menjadi media humanisasi, transendensi, dan liberasi.
Meski dalam novel ini tidak sepenuhnya demikian, memang ada kecenderungan ke arah semacam itu—ini cukup berbeda dengan Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan yang cukup mampu mempertontonkan ambiguitas hidup dalam masyarakat. Unsur alur dan penokohan dalam novel ini cukup hidup dalam lingkungan budaya Jawa dan atmosfer politik Orde Baru yang khas.
Novel ini patut diapresiasi bersama terutama sebagai sebuah karya sastra yang cukup sulit dihasilkan oleh sastrawan lain serta karena posisinya yang khas dalam sosok Kuntowijoyo, seorang cendekiawan, sastrawan, sejarawan, dan budayawan. Kritik sosial yang disampaikan dalam novel ini juga dapat menjadi sebuah tema diskusi yang menarik karena berkaitan dengan posisi kesenian dalam masyarakat—sebuah tema yang tak pernah habis dibicarakan.


Versi pendek tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 12 November 2001.


Read More..

Minggu, 04 November 2001

Atmosfer Kebebasan dan Paradoks Pers Reformasi

Judul Buku : Politik Media dan Pertarungan Wacana
Penulis : Agus Sudibyo
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Agustus 2001
Tebal : xviii + 332 halaman


Setelah proses reformasi berlangsung selama lebih dari tiga tahun, ada sebuah pertanyaan besar menyangkut dunia pers di Indonesia: sudahkah atmosfer kebebasan yang dihirupnya telah mampu mengantarkan pers Indonesia ke sebuah peran konstruktif untuk mendukung proses demokratisasi dan reformasi? Sudahkah pers Indonesia selama ini mengawal proses reformasi pada jalur yang positif?

Pertanyaan ini menarik dan penting dijawab karena carut-marut wajah dunia politik di Indonesia yang tak kunjung usai ini di satu sisi sebenarnya juga membutuhkan dukungan dari salah satu unsur pembentuk dan penyokong demokrasi: dunia pers. Pers idealnya dapat mendorong terciptanya sebuah public sphere (menurut istilah seorang filsuf Jerman, Jurgen Habermas), yakni sebuah medan luas di antara negara dan masyarakat tempat semua warga negara dapat terlibat dalam isu-isu penting tentang permasalahan bersama secara wajar, adil, dan proporsional.

Memang tidak mudah untuk menilai kinerja pers Indonesia selama proses reformasi ini berlangsung. Dan kehadiran buku ini setidaknya dapat menjadi salah satu penimbang untuk menyodorkan jawaban atas persoalan tersebut. Buku yang ditulis oleh analis media pada program media watch Institut Studi Arus Informasi (ISAI) ini adalah sekumpulan hasil penelitian lapangan terhadap pelbagai perilaku pers Indonesia pasca-Orde Baru.

Dalam spektrum yang lebih luas, pers reformasi memang hadir dalam sebuah ruang luas tempat kebebasan dirayakan besar-besaran. Arus kebebasan berekspresi ini tidak hanya dimiliki oleh kalangan elit-elit politik atau dunia pers saja, tetapi juga masyarakat kalangan bawah yang sebelumnya relatif awam terhadap dunia politik. Karena itu, amat wajar bila pentas politik diwarnai dengan sejumlah pertunjukan yang beragam, mulai dari pernyataan-pernyataan atau isu kontroversial seorang tokoh, gejala disintegrasi, konflik antarkelompok masyarakat, atau aksi-aksi protes masyarakat bawah terhadap institusi pemerintah. Dalam struktur lingkungan sosial-politik yang sedemikian rupa itulah para kuli disket itu bekerja.

Dari beberapa topik penelitian yang tersaji dalam buku ini, terungkap adanya kecenderungan pekerja pers untuk abai terhadap persoalan yang mungkin dianggap sepele tapi sebenarnya cukup berpengaruh dalam pemberitaan. Pemilihan sumber berita misalnya menjadi suatu persoalan yang patut disorot secara kritis, karena menurut penulis buku ini sumber berita hadir membawa definisi realitas yang diam-diam bersifat hegemonik.

Dalam kasus pemberitaan mengenai konflik antara petani dengan pemilik perkebunan dan pemerintah yang terjadi awal 1999 di Malang misalnya pers masih lebih sering mengutip sumber dari satu pihak: pemilik perkebunan dan aparat keamanan. Para petani pun diberi label sebagai “penjarah”—padahal, siapa sebenarnya yang telah “menjarah” hak-hak kaum petani.

Demikian pula dalam pemberitaan kasus Aceh Merdeka. Pengamatan terhadap Harian Kompas, Republika, Terbit dan Pos Kota selama bulan November hingga Desember 1999 menunjukkan bahwa sumber berita dari pemerintah menempati porsi 51%, sedang sumber dari masyarakat Aceh sendiri hanya 13%. Yang lebih mengenaskan, perbincangan tentang penyelesaian masalah Aceh ternyata lebih bersifat retoris, terbukti dengan sering munculnya rekomendasi penyelesaian yang tidak jelas opsi-opsinya.

Ketidakcermatan awak media dalam memburu berita yang bersifat faktual ini juga tampak dalam pemberitaan kasus kontroversial semacam Buloggate dan Bruneigate. Penelitian terhadap Harian Kompas, Media Indonesia, Pos Kota, dan Rakyat Merdeka selama bulan Juni 2000 mengungkapkan bahwa pemberitaan pers tentang kedua kasus yang melibatkan Presiden Abdurrahman Wahid itu justru banyak bertumpu pada fakta psikologis daripada fakta sosiologis. Penggunaan term-term yang secara psikologis berbau KKN, seperti “orang-orang dekat presiden”, “kroni-kroni”, “penyalahgunaan wewenang”, dan sebagainya, lebih bersifat propaganda ketimbang usaha investigasi yang lebih dalam. Laporan yang disusun pun dibuat tidak berdasarkan sumber langsung yang berkompeten terhadap kasus tersebut, tapi lebih banyak dari kalangan legislatif—itupun kebanyakan yang kontra-Gus Dur.

Buku bagus ini telah cukup mampu membuka mata kita lebar-lebar bahwa ruang publik yang bebas dari intervensi pasar maupun negara masih belum sepenuhnya terbentuk di alam reformasi ini. Transaksi wacana secara fair masih merupakan pekerjaan rumah yang menunggu penyelesaian segera, sebelum justru melahirkan persoalan baru yang menambah akut proses reformasi ini.


Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, 4 November 2001.


Read More..

Rabu, 31 Oktober 2001

Perspektif Positif Menyikapi Fundamentalisme


Judul Buku: Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme dalam Islam, Kristen, dan Yahudi
Penulis: Karen Armstrong
Penerbit: Serambi Jakarta bersama Mizan Bandung
Cetakan: Pertama, Agustus 2001
Tebal: xx + 641 halaman

Fundamentalisme seringkali dihubungkan dengan sikap dan pandangan keras atau militan dalam sikap keberagamaan. Orang juga sering mengaitkannya dengan terorisme dan aksi kekerasan berupa bom bunuh diri seperti kejadian tragedi gedung WTC di New York, membunuh para dokter di klinik aborsi, menembaki jamaah yang sedang beribadah, dan sebagainya.
Citra negatif yang dilekatkan pada kaum fundamentalis ini tak jarang malah berakibat memperluas medan konflik. Kaum fundamentalis menjadi semakin merasa dendam. Ditambah lagi bila solidaritas masyarakat lain yang merasa seideologi tumbuh diikuti dengan penyikapan yang mirip dengan cara-cara kaum fundamentalis.
Fenomena keberagamaan semacam itu menggejala tidak hanya pada agama-agama besar seperti Yahudi, Kristen, atau Islam, tapi juga terjadi pada agama Hindu, Budha, atau bahkan Kong Hu Cu.
* * *
Buku ini mencoba memberikan perspektif baru yang cukup menarik terhadap gejala fundamentalisme. Penulisnya, Karen Armstrong, yang juga penulis buku bestseller A History of God (yang telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Penerbit Mizan dengan judul Sejarah Tuhan) mengajukan suatu cara pandang yang berbeda dengan ilmuwan Barat pada umumnya. Bila Bassam Tibi dalam The Challenge of Fundamentalism misalnya mencoba menyorot fenomena fundamentalisme ini dari perspektif politis, sehingga akhirnya juga memberi rekomendasi yang bersifat politis berupa penguatan demokrasi (sekuler) dan hak-hak asasi manusia, maka Armstrong dalam buku ini mendekati fenomena fundamentalisme dari perspektif sosiologis dan kultural-eksistensial.
Dengan mengambil fokus pada tiga agama besar, yakni Yahudi, Kristen, dan Islam, Armstrong melacak secara kronologis perkembangan fundamentalisme secara sosiologis. Kerangka yang digunakan lebih bersifat kultural-eksistensial. Artinya, fundamentalisme bagi Armstrong—terlepas dari aspek sosio-politis yang sering melekatinya—dipandang sebagai suatu eksprimen pemaknaan terhadap usaha untuk menjadi sosok yang religius ketika agama dihadapkan dalam sebuah masa transisi sosio-kultural berupa terjadinya gelombang modernisasi dan globalisasi.
Modernisme telah merombak tatanan sosial masyarakat sedemikian rupa yang bahkan menyelusup ke seluruh bidang kehidupan: ekonomi, atau sosial-politik-intelektual. Pola masyarakat yang berkembang bukan lagi masyarakat agrikultur, tetapi masyarakat industrial. Hal inilah yang menurut Armstrong dalam bidang keagamaan mendorong lahirnya berbagai ekspresi yang bersifat eksprimental sebagai bentuk budaya tanding bagi arus modernitas itu sendiri.
Secara historis hal ini sebenarnya pernah terjadi pada sekitar tahun 700-200 SM, ketika perkembangan teknologi agraria telah mendorong lahirnya kerajaan-kerajaan baru, muncul fenomena penolakan masyarakat terhadap corak teologi nenek moyang yang bersifat paganistik, beralih kepada pencarian zat agung yang bersifat tunggal, transenden, dan menjadi sumber kesakralan.
Dalam A History of God Armstrong juga menengarai bahwa pemikiran ateistik yang lahir di akhir abad ke-19 merupakan suatu reaksi terhadap ketidakcukupan konsep ketuhanan yang ada ketika itu dalam menghadapi tantangan perubahan sosial yang bersifat massif. Kelahiran fundamentalisme juga didorong oleh tuntutan pendefinisian ulang ajaran (spiritualitas) keagamaan ketika modernisasi—seperti pendapat Anthony Giddens—nyaris membunuh kultur-kultur lokal suatu masyarakat.
Uraian kronologis dalam buku ini dimulai dari tahun 1492, yang menurut Armstrong menjadi titik tolak lahirnya gejala fundamentalisme. Inilah periode yang selain dibarengi dengan lahirnya beberapa corak pemikiran filosofis yang amat berbeda dengan periode sebelumnya, juga diikuti oleh sebuah peristiwa penting yang memicu berkembangnya gejala fundamentalisme, yakni ketika Raja Ferdinand dan Ratu Isabella—dua penguasa Katolik yang pernikahannya pada waktu itu mampu menyatukan dua kerajaan Iberia kuno, Aragon dan Castile—berhasil menaklukkan negara-kota Granada.
Pendudukan ini mengakibatkan terusirnya penduduk muslim Spanyol kembali ke wilayah Timur Tengah, karena mereka diberi dua pilihan: pindah agama atau dideportasi. Demikian pula kaum Yahudi, sehingga tercatat ada sekitar 80.000 orang Yahudi yang menyeberang ke Portugal, dan 50.000 orang mengungsi ke kerajaan Utsmaniyah di Turki. Sementara itu, kaum Yahudi yang bertahan di Spanyol dan memeluk agama Kristen lambat-laun kembali ke kepercayaan semula, dan membentuk sebuah organisasi bawah tanah untuk mengajak para converso lainnya kembali ke agama asli mereka. Akan tetapi, Raja Ferdinand mencium aktivitas ini, sehingga ada 13.000 converso dibunuh oleh program Inkuisisi dalam dua belas tahun pertama program tersebut.
Memasuki abad ke-16 orang-orang Yahudi di Eropa sama sekali tidak menghirup udara bebas. Mereka tinggal dalam suatu komunitas tertutup bernama “ghetto”. Segregasi atau pemisahan ini pada akhirnya semakin meningkatkan prasangka anti-Semit, dan kaum Yahudi ini lalu memandang dunia non-Yahudi yang kejam itu dengan kepahitan dan mata penuh curiga.
Akumulasi pengalaman orang-orang Yahudi yang sedemikian pahit dan tragis inilah yang mengantarkan mereka pada suatu situasi disorientasi yang begitu dalam dan menjadikan mereka menjadi masyarakat terasing secara religius dan spiritual. Proses modernisasi yang dibawa Raja Ferdinand bagi mereka menunjukkan karakter agresif dari modernitas sehingga akhirnya mereka dituntut untuk mengembangkan suatu bentuk kepercayaan baru yang dapat membuat tradisi lama mereka tetap relevan dan berarti, di tengah-tengah situasi lingkungan yang berubah secara radikal.
Hal semacam ini pulalah yang dialami umat Islam ketika terusir dari Spanyol. Seperti diurai Armstrong di Bab 2, orang-orang Islam yang menjadi korban dari sebuah tatanan sosial baru ini lalu pindah membangun sebuah tatanan yang dalam bahasa Marshall G. S. Hodgson mengusung “semangat konservatif”. Semangat konservatif yang dibangun ini ditandai dengan diproklamasikannya pintu ijtihad yang telah tertutup, dan hanya mempersilahkan umat untuk taklid.
Konservatisme ini terus semakin menjadi-jadi ketika kawasan Timur Tengah mengalami periode imperalisme oleh bangsa Eropa pada akhir abad ke-18, sehingga memunculkan gerakan-gerakan bercorak fundamentalistik.
* * *
Cara pandang menarik yang dijadikan kerangka teoritik oleh Armstrong dalam buku ini semakin memperkokoh nilai penting buku ini dalam kondisi kekinian. Buku ini tidak saja memaparkan secara sosiologis perkembangan fundamentalisme dalam agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Akan tetapi, perspektif Armstrong dalam menguraikan observasinya ini mengajak kita bersama untuk melihat fundamentalisme dari kacamata yang lebih bersifat positif.
Dari perspektif ini, fundamentalisme adalah sebuah kritik terhadap perkembangan modernitas yang nyaris bergerak tanpa kontrol. Modernisme yang sejak awal menjadikan manusia sebagai tolok ukur segalanya—yang secara epistemologis semula dimaksudkan untuk memperkokoh logos dan menggusur mitos dengan merayakan peran rasio—justru seringkali terjebak dalam kelemahan moral yang menganggap remeh martabat dan harga diri manusia. Acapkali ditemui sekelompok masyarakat yang dengan tega melakukan pembunuhan atas nama rasionalitas dan kemanusiaan. Ini terutama banyak dialami oleh kelompok masyarakat dunia ketiga yang terhegemoni oleh globalisasi hasil impor kelompok dunia pertama (negara-negara maju).
Buku ini menunjukkan bahwa citra negatif kaum fundamentalis bisa jadi memang merupakan suatu produk konstruksi struktural dunia modern yang hegemonik, invasif, agresif, dan destruktif. Karena itu, dengan mengangkat sisi lain fundamentalisme, buku ini kemudian memberikan suatu tawaran cara yang lebih arif dan bijak dalam menyikapi fenomena fundamentalisme. Agenda mendesak yang perlu dikedepankan adalah upaya mengatasi kekecewaan kelompok fundamentalis ini—yang sebenarnya juga dirasakan oleh kelompok lain—terhadap berbagai ekses modernisme yang tidak mengakomodasi kebutuhan spiritual manusia. Upaya-upaya untuk mencari titik kesepahaman menjadi amat penting untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih baik dan penuh kedamaian.
Dan buku ini dari suatu perspektif sebenarnya adalah suatu pintu masuk menuju ruang dialog yang dimaksudkan tersebut. Ditulis oleh seorang yang dibesarkan dalam tradisi dan kebudayaan Barat modern, maka buku ini tidak lain adalah suatu kritik internal masyarakat Barat terhadap produk kebudayaannya sendiri terutama dalam mempersepsikan sesuatu yang dinilai negatif dan dimiliki kelompok masyarakat lain. Buku ini adalah semacam oksidentalisme, studi ke-Barat-an yang justru dilakukan oleh orang Barat sendiri—seperti yang juga pernah dilakukan Michel Foucault ketika mengkritisi sejarah pembentukan identitas masyarakat kelas menengah Eropa. Buku ini adalah cerminan suatu sikap terbuka dan rendah hati untuk kebersediaan memahami pilihan sikap dan tindakan orang lain, dan merupakan benih dialog antar-peradaban yang selayaknya diikuti dengan sejumlah langkah bijak lainnya.


Tulisan ini dimuat di Majalah Gamma, 31 Oktober 2001.

Read More..

Senin, 01 Oktober 2001

Mengelola Luka Sejarah Tragedi Bangsa

Tragedi pembantaian di tahun 1965 yang dipicu oleh gerakan yang disebut dengan Gerakan 30 September (G-30-S) bagi bangsa Indonesia merupakan sebuah luka sejarah yang tak kunjung sembuh. Bekas luka yang begitu dalam itu masih tetap menganga dan darahnya menggenang di kesadaran sejarah dan memori kolektif masyarakat. Sayangnya, luka sejarah itu tak jarang menimbulkan sikap-sikap yang kontra-produktif terhadap proses pembangunan peradaban bangsa.

Ini yang pernah dilontarkan Muhammad Qodari (Tempo, 2-8 Oktober 2000) ketika menyatakan keheranannya atas penolakan besar-besaran beberapa kelompok masyarakat terhadap usul Gus Dur mencabut Tap XXV/MPRS/1966 tentang larangan mempelajari, menyebarkan, dan mengamalkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme itu—sebuah produk yang lahir tidak lama setelah peristiwa tragis itu. Qodari menganggap hal itu sebagai sebuah “anomali” reformasi. Betapa tidak, ketika seluruh elemen bangsa ini sedang melakukan upaya dekonstruksi di sana-sini terhadap segala bentuk warisan pola pikir dan sikap (politik) Orde Baru, ternyata dalam hal pencabutan Tap XXV/MPRS/1966 masyarakat bersikap “aneh”.

Kasus ini hanyalah salah satu contoh dari cara penyikapan masyarakat terhadap (tragedi) sejarah yang dimilikinya. Diam-diam terungkap bahwa akibat rasa ketakutan yang lahir dari sejarah tragis kehidupan bangsa ternyata malah melahirkan sikap yang berseberangan dengan semangat reformasi yang sedang digalakkan di berbagai sektor kehidupan bangsa, terutama untuk membangun kesadaran hidup berkebangsaan yang baru.

Melihat praktik semacam itu tampaklah bahwa ternyata sejarah kehidupan bangsa sesekali dapat menjadi tameng kepentingan kelompok tertentu yang bersifat sementara. Sementara elemen komunitas sosial bangsa yang lain, yang mendapat atribut sebagai “the other” dalam sejarah, diabaikan—bahkan mungkin dihilangkan—dari panggung sejarah.

Pengelolaan memori sejarah sosial ternyata menjadi cukup penting. Rezim Orde Baru telah menunjukkan betapa selama kekuasaannya mereka telah begitu cerdik memanfaatkan momen-momen tragis kehidupan bangsa—terutama peristiwa G-30-S—untuk dijadikan legitimasi “kebijakan” pemerintahannya. Sejarah telah ditunggangi dan hanya dipersembahkan kepada sang penguasa demi memperoleh pembenaran politik.

Menjadi terang benderanglah bahwa pengelolaan sejarah sosial suatu bangsa menjadi sedemikian penting. Pada satu sisi ia dapat melahirkan legitimasi untuk mendukung status quo, dan pada sisi yang lain ia sebenarnya dapat menjadi suatu kekuatan suatu bangsa untuk membangun kembali peradaban bangsa. Persoalannya adalah bagaimana caranya?
* * *
“Orang yang tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tiga ribu tahun, hidup tanpa memanfaatkan akalnya,” demikian ujar Goethe, seorang penyair Jerman terkemuka. Sejarah memang dimiliki oleh tiap manusia. Namun tidak hanya seorang manusia, setiap bangsa pun juga memiliki sejarahnya masing-masing. Ernst Cassirer (1847-1945) dalam bukunya An Essay on Man menyatakan bahwa sejarah adalah kesaksian evolusi organisme peradaban suatu masyarakat. Dengan begitu, sejarah sebenarnya dapat digunakan sebagai modal awal untuk mengetahui proses pembentukan identitas suatu masyarakat (bangsa). Masyarakat Yunani Kuno misalnya mempraktikkan pendefinisian identitas ini dengan menciptakan referensi sejarah yang mengacu kepada masa lampau yang bersifat mitis, yakni melalui mitos-mitos yang berkaitan dengan fenomena kosmologis ataupun genealogis.

Dalam terang gagasan tersebut, upaya pembacaan ulang terhadap warisan sejarah tragis kehidupan bangsa berada dalam kerangka perumusan identitas kebangsaan, yakni untuk memahami proses evolusi peradaban bangsa Indonesia. Jangkauan masa depan yang diharapkan adalah terbentuknya suatu kearifan sejarah yang pada gilirannya dapat membentuk suatu rancang bangun budaya politik yang kondusif bagi pengembangan demokrasi.

Dengan kerangka baca seperti tersebut di atas, maka proses pembacaan berbagai tragedi kemanusiaan dalam sejarah kebangsaan Indonesia dapat dilihat dalam dua kategori. Pertama, kategori obyektif. Berbagai sejarah tragedi kemanusiaan itu dikaji dan diklarifikasi dengan menggunakan kategori obyektif-empiris. Sisi pembacaan ini mengandaikan adanya keterbukaan faktual dari obyek kajian yang dipelajari. Medan warisan sejarah tragis kehidupan bangsa dibuka lebar-lebar untuk diungkapkan dari berbagai versinya, sehingga latar sosio-kultural yang berada di belakang peristiwa itu menjadi jelas.

Setelah itu, pembacaan dilanjutkan dengan menguraikan unsur-unsur sosial yang melatarbelakangi kejadian-kejadian itu. Ini berarti bahwa integrasi sosial misalnya yang selama ini dimitoskan dengan memendam segala perbincangan yang berkaitan dengan SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan) dibongkar sehingga akar penyebab tragedi-tragedi kemanusiaan yang sarat dengan kekerasan horizontal itu terungkap jelas.
Karena kategori obyektif ini berlandaskan kepada sejarah obyektif yang bersifat empiris, maka penyikapan selanjutnya yang harus diambil mesti dikaitkan dengan konsep rasionalitas politik demokrasi. Untuk itu, pada tahap yang paling akhir, jika memungkinkan, pembacaan dengan kategori obyektif merekomendasikan penindaklanjutan penyelesaian masalah secara hukum maupun politis.

Yang diharapkan dari kategori obyektif terhadap pembacaan berbagai tragedi sejarah ini adalah adanya political will dan usaha sistematis yang kuat untuk mendedahkan lembar-lembar sejarah yang tertimbun di lapisan terdalam sejarah kehidupan bangsa ini, serta bila dipandang perlu dan memungkinkan, berbagai kasus tragedi kemanusiaan itu dituntaskan melalui jalur hukum atau politik.

Sebuah contoh bagus bagi pembacaan obyektif terhadap kasus G-30-S misalnya ditunjukkan dari buku Hermawan Sulistyo berjudul Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966) yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (Juni 2000). Buku yang mulanya adalah disertasi doktoral ini menelusuri akar-akar pembantaian massal PKI tahun 1965-1966. Dengan mengambil lokasi penelitian di Jombang dan Kediri, Hermawan mengungkapkan bahwa ternyata peristiwa pembantaian tersebut bukan semata-mata berkaitan dengan peristiwa G-30-S, yakni pembunuhan sejumlah perwira tinggi di Jakarta, melainkan berakar dari konflik sosial antara berbagai elemen sosial masyarakat yang sebelumnya telah terjadi. Dalam buku ini Hermawan tidak terjebak kepada penjelasan yang semata-mata memusatkan pada elit-elit politik nasional ketika itu, dan lebih memberi ruang bagi dinamika kehidupan masyarakat bawah di Jombang dan Kediri yang pada akhirnya memungkinkan meluasnya konflik sosial secara lebih massif.

Cuma sialnya, beberapa masyarakat justru mengkategorikan buku ini sebagai buku “kiri”, sehingga beberapa waktu yang lalu sempat pula di-sweeping. Inilah cara baca kaum awam terhadap sejarah yang kelihatan begitu gegabah dan emosional.

Pembacaan yang kedua adalah melalui kategori subyektif. Bila pembacaan dengan kategori obyektif berada dalam bingkai politik demokratisasi dalam masyarakat bangsa secara luas, maka kategori subyektif lebih menempatkan berbagai tragedi sejarah kemanusiaan itu dalam wilayah kultural-eksistensial. Cara baca subyektif terhadap sejarah ini dilakukan untuk mencapai hasil yang lebih tajam dalam mengeksplorasi sejarah suatu bangsa. Aspek intuisi kemanusiaan begitu ditekankan. Bila cara baca yang pertama lebih menekankan aspek yang lebih ilmiah—terutama dalam kacamata historiografi—maka cara baca kedua ini lebih mengusahakan terengkuhnya pengalaman-pengalaman kemanusiaan yang dialami dalam sejarah.

Sejarah dalam kondisi primordial tidak berkaitan dengan observasi empiris, karena setiap peristiwa sejarah pada hakikatnya bersifat “sekali terjadi”. Karena itu sejarah hanya bisa diteliti melalui dokumen-dokumen, monumen, atau pelaku sejarah itu sendiri. Pembacaan dengan kategori subyektif ini menghendaki agar hasil dari pembacaan obyektif dapat dijadikan sebagai upaya untuk menghubungkan pengalaman-pengalaman historis antar-generasi sehingga akhirnya sejarah dapat menjadi sarana sosialisasi dan pewarisan nilai.

Dengan menekankan pada aspek individual-eksistensial, pembacaan subyektif menghendaki agar fakta obyektif sejarah itu dijadikan “kawan dialog” yang menyampaikan pesan-pesannya generasi penerus suatu bangsa. Dalam pembacaan ini, yang diandalkan adalah kepekaan intuitif untuk memberi pemaknaan yang bersifat produktif-kreatif terhadap berbagai tragedi kemanusiaan itu. Kepekaan intuitif ini berarti bahwa setiap individu hendaknya mengembalikan semua peristiwa itu dalam situasi primordial kemanusiaan yang memiliki kepekaan dan keprihatinan etis dalam bingkai semangat humanisme yang tinggi.

Usaha Garin Nugroho melalui filmnya, Puisi tak Terkuburkan, adalah contoh yang sangat tepat dikemukakan. Film tersebut mengisahkan kesaksian seorang penyair Aceh yang dipenjara di Tanah Gayo pada tahun 1965. Budi Irawanto, kritikus film dari Yogyakarta, menunjukkan kekagumannya atas keberhasilan film itu dalam mengungkap sisi-sisi kemanusiaan yang begitu bermakna dari kisah tragis itu. Dalam pandangan Budi, film tersebut mampu ‘mensugestinya ke arah permenungan makna dan hakikat pengalaman manusia’.
* * *
Dengan dua cara baca tersebut di atas, diharapkan bahwa warisan sejarah bangsa Indonesia dapat dimaknai secara produktif, dengan maksud agar itu semua dapat menjadi titik tolak kesadaran untuk membangun peradaban bangsa yang lebih baik di masa depan. Masa lalu tidak boleh menjadi beban yang menyebabkan ketertutupan, melainkan harus menjadi elan vital bagi Orde Reformasi, dengan tetap bertopang pada kesadaran pluralistik bangsa Indonesia. Seperti disebutkan dalam pamflet film Puisi tak Terkuburkan karya Garin Nugroho: “Setiap bangsa memiliki trauma kekerasan politis. Saatnya, setiap individu bangsa bebas menafsir trauma bangsa lewat kreativitas. Untuk nantinya tidak muncul dalam berbagai bentuk kekerasan baru.”


Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 1 Oktober 2001.

Read More..

Senin, 27 Agustus 2001

Ideologi di Balik Pembangunan

Judul Buku: Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi
Penulis: Dr. Mansour Fakih
Penerbit: Insist Press bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Juli 2001
Tebal: viii + 250 halaman


Persoalan pembangunan suatu masyarakat, terutama di negara-negara berkembang, hingga saat ini masih berada dalam suatu proses yang tak kunjung selesai dilalui. Khusus di Indonesia dan kawasan negara Asia Tenggara yang saat ini dilanda krisis ekonomi, sosial, politik, dan budaya, masalah pembangunan menjadi suatu problem penting. Krisis multidimensional yang secara tiba-tiba menyerbu sejak tahun 1997 membuktikan kegagalan paradigma pembangunan yang selama ini diterapkan.
Secara simplisistis orang-orang sering menghubungkan krisis yang melanda Indonesia ini dengan kegagalan pengelolaan pemerintahan, dengan diangkatnya istilah KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) untuk menggambarkan pemerintah yang buruk. Buku ini berusaha mengungkapkan bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekedar kebobrokan pemerintah yang dinilai totaliter dan tidak demokratis itu. Buku ini menyatakan bahwa jalan keluar bagi kemelut pembangunan yang berpihak bagi rakyat bawah tidak hanya dapat diselesaikan dengan pembentukan pemerintah yang bersih dan berwibawa. Perjalanan kelompok reformis yang telah mengawal proses reformasi selama sekitar 3 tahun ini telah cukup untuk membuktikan bahwa ada sesuatu yang bersifat lebih mendasar dalam soal penyelesaian masalah pembangunan.
Dengan sebuah uraian teoritik yang cukup meyakinkan, buku ini melakukan sebuah studi kritis terhadap teori-teori pembangunan dan globalisasi yang menjadi pembimbing arah pembangunan berbagai kalangan di Indonesia: pemerintah, LSM, aktivis sosial, dan sebagainya. Mansour Fakih, penulis buku ini yang telah cukup lama bergelut dalam kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat, sejak awal bagian buku ini mengingatkan bahwa ada suatu ideologi tersembunyi yang merasuk dalam teori-teori pembangunan dan globalisasi itu.
Dalam kerangka itulah buku ini melanjutkan uraian-uraian kritisnya. Pisau analisis yang digunakan Mansour dalam buku ini adalah konsep paradigma Thomas Kuhn, yakni bahwa ada suatu tempat berpijak yang mendasari segenap teori-teori itu yang pada tahap akhirnya mampu menentukan pandangan seseorang untuk menentukan sisi-sisi suatu program sosial. Dan patut diingat bahwa suatu paradigma tertentu yang digunakan di masyarakat tidak serta-merta berarti bahwa paradigma itu benar, tapi lebih disebabkan karena paradigma itu didukung oleh suatu kekuatan dan kekuasaan yang besar dan kuat.
Mansour melihat bahwa ternyata ada beberapa aktivis sosial yang tanpa disadari menggunakan dasar teoritik dan visi ideologis yang bertolak belakang dengan tujuan yang diinginkannya. Ini menunjukkan adanya suatu kelemahan teoritik dalam hal visi ideologis gerakan sosial yang sedang dikerjakannya.
Menurut Mansour, teori-teori pembangunan yang berkembang sebenarnya adalah kelanjutan dari proses kolonialisme yang terpental akibat gemuruh tuntutan berbagai pihak. Developmentalisme dilontarkan guna membendung arus sosialisme, sehingga sebenarnya ia tidak lain adalah kemasan baru kapitalisme.
Dalam praktiknya, pembangunan memang terlalu sering diartikan semata-mata sebagai pertumbuhan ekonomi, dan abai terhadap masalah keadilan, pemerataan, atau perlakuan manusiawi terhadap berbagai khazanah kebudayaan lokal. Segala sesuatu dilihat semata-mata dari perspektif material, termasuk pula manusia. Karena itu, tidak heran bila atas nama pembangunan penggusuran dilegalkan, atas nama stabilitas pembangunan darah rakyat dihalalkan, dan atas nama pembangunan rakyat dininabobokan dalam kabut kebodohan.
Sementara itu, yang namanya globalisasi, tidak lain adalah kelanjutan dari teori pembangunan yang mewarisi semangat hegemonik dan imperialis. Dalam teori globalisasi, tiap negara didorong untuk berintegrasi dalam sistem ekonomi dunia. Globalisasi, yang titik awalnya ditandai dengan perjanjian internasional di bidang perdagangan yang dikenal dengan GATT (General Agreement on Tariff and Trade), tidak lain adalah globalisasi kapitalisme yang menjadi perpanjangan tangan kelompok negara-negara maju, dengan antek-antek bernama IMF, WTO, atau World Bank. Dalam proses globalisasi itu sendiri sebenarnya terlihat dengan terang siapa yang diuntungkan dengan sistem tersebut: mereka adalah kelompok-kelompok perusahaan transnasional yang berasal dari negara-negara industri.
Melalui buku ini, Mansour Fakih cukup berhasil menelanjangi ideologi teori-teori pembangunan dan globalisasi, sehingga kita semua, terutama para aktivisi sosial, menjadi awas terhadap masalah ini. Hal ini penting artinya agar gerakan sosial yang sudah cukup banyak berakar dari bawah tidak sia-sia, hanya gara-gara tidak sadar dengan tirai ideologis yang menyelimutinya.

Tulisan ini dimuat di Majalah Forum Keadilan, 27 Agustus 2001.

Read More..

Selasa, 14 Agustus 2001

Pendidikan sebagai Jantung Transformasi

Judul Buku: Menjadi Guru Merdeka: Petikan Pengalaman
Penulis: Ira Shor dan Paulo Freire
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Mei 2001
Tebal: xvi + 300 halaman


Wacana pendidikan selama ini dibiarkan terbengkalai ditindih isu-isu politik yang menebar di seantero atmosfer wacana aktual. Sebagian besar masyarakat termasuk kalangan intelektual dan akademisi bahkan menganggap pendidikan sebagai wilayah yang betul-betul terpisah dari domain politik. Akibat yang dirasakan saat ini cukup nyata: dunia pendidikan masih saja terpuruk dalam keterbelakangannya.

Dalam dialog Paulo Freire dan Ira Shor dalam buku ini dengan jelas ditegaskan bahwa pendidikan dan politik memiliki keterkaitan yang cukup erat. Sekolah sebagai titik tolak bidang formal pendidikan bukanlah wilayah netral yang steril dari nilai-nilai politis. Sekolah dibentuk oleh dialektika nilai dan bangunan sosial yang melingkupinya sehingga tak heran bahwa sekolah bisa menjadi salah satu tameng penopang suatu nilai tertentu—termasuk status quo.

Struktur kapitalis yang membayangi hampir seluruh belahan dunia saat ini misalnya menurut Freire telah cukup mampu merintangi kritisisme masyarakat terhadap lingkungan sosialnya melalui sekolah. Kurikulum yang seolah netral ditanamkan kuat-kuat untuk menjinakkan dan menyetop imajinasi tentang kemerdekaan. Untuk itu, di sekolah-sekolah pengetahuan diperlakukan sebagai seonggok mayat dingin, bukan sosok kehidupan yang bertaut erat dengan realitas. Ruang kelas hanya menjadi ajang untuk mengetahui (ilmu), bukan memproduksi, sehingga akhirnya ruang kelas hanya menjadi pasar jual-beli pengetahuan antara guru dan murid.

Freire yang juga dikenal sebagai tokoh pendidikan pembebasan dalam buku ini menegaskan bahwa pendidikan adalah sebuah tindakan politis. Pendidikan yang membebaskan berusaha memberikan suatu perspektif cerdas tentang sekolah, masyarakat, dan belajar, untuk sebuah transformasi masyarakat.

Usaha Freire untuk menjadikan pendidikan sebagai instrumen penting transformasi sosial ditempuh dalam berbagai cara. Salah satu hal yang mendasar adalah penegasan ulang keterkaitan pengetahuan dengan realitas sosial. Motivasi belajar misalnya menurut Freire semestinya dipahami sebagai hasil dialektika seorang siswa atau guru dengan tindakan dan keterlibatannya dalam proses-proses sosial, sehingga akhirnya betul-betul menyatu dengan proses belajar itu sendiri.

Realitas ketertindasan sosial-politik dan ekonomi misalnya telah menjadi motivasi penting dalam sosok dan semangat pemikiran Freire sendiri. Secara biografis terungkap bagaimana Freire bergulat dengan fenomena kemiskinan, kelaparan, atau teror dan intimidasi penguasa di negerinya.

Sikap kritis yang diimpikan Freire yang muncul dari ruang kelas ini tidak lain adalah ketercerahan untuk dapat mengkritisi sistem kapitalis yang telah membentuk dan mengepung sekolah. Karena itu, seorang guru yang memiliki impian pembebasan harus bisa mendorong siswa-siswanya melahirkan imajinasi kreatif berupa pemikiran-pemikiran alternatif guna mengantisipasi realitas sosial masa depan dan mendayagunakan semuanya untuk membangun masyarakat.

Karena situasi eksistensial siswa dan guru menjadi titik tolak yang tak bisa ditawar, maka dialog dan partisipasi menjadi kunci penting dalam sebuah proses pendidikan. Ini adalah sebuah usaha dekonstruktif untuk mendemistifikasi posisi guru yang selama ini dianggap “segalanya”. Dialog harus dapat memadamkan otoriterisme sistem sekolah, karena dalam dialog akan terbentuk suatu ketegangan permanen antara otoritas dan kemerdekaan yang membuka ruang bagi kreativitas berpikir guru dan siswa. Perbedaan-perbedaan pendapat dalam ruang kelas tidak diletakkan dalam kerangka antagonistik, tapi berada dalam bingkai partisipatoris.

Dengan itu semua diharapkan pendidikan betul-betul dapat berperan mendukung proses transformasi dengan menghasilkan siswa-siswa dan guru yang memiliki rasa kebersamaan, solidaritas, dan kepedulian serta tanggung jawab untuk meraih kehidupan yang lebih baik.

Buku yang berjudul asli A Pedagogy for Liberation: Dialogues on Transforming Education (1987) ini berusaha mengeksplorasi lebih jauh gagasan-gagasan pendidikan pembebasan Freire yang diformat dalam suatu dialog lepas antara Freire dan Ira Shor, seorang pemikir dan aktivis pendidikan pembebasan yang telah bereksprimen dengan gagasan Freire.

Untuk kesekian kalinya elit-elit (politik) Indonesia harus disadarkan dari kesibukannya berebut kursi kekuasaan, untuk lebih memikirkan bidang pendidikan yang untuk jangka panjang akan sangat berguna sekali mendorong dan mengawal proses transformasi dan demokratisasi masyarakat.


Tulisan ini dimuat di Majalah Forum Keadilan, 13 Agustus 2001.

Read More..

Minggu, 12 Agustus 2001

Tuhan yang Menyejarah

Judul Buku : Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4000 Tahun
Penulis : Karen Armstrong
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, April 2001
Tebal: 581 halaman


Diskusi tentang Tuhan termasuk dalam kategori problem abadi yang tak kunjung mencapai titik final. Setiap zaman, bahkan sejak 4000 tahun yang lalu, manusia sebagai homo sapiens merekonstruksi konsep-konsep tentang Tuhannya. Tak jarang, bertolak dari konsepsi mereka terhadap Tuhan, lahir gerakan-gerakan sosial yang bersifat liberatif atau bahkan juga muncul tindakan “anarkis” demi menegakkan citra Tuhan yang mereka yakini.

Buku ini memerikan suatu peringatan dan pesan yang cukup jelas, bahwa kita semestinya tidak bersikap ahistoris terhadap konsep Tuhan yang berusaha dikenali manusia itu, bahwa ternyata sepanjang sejarah manusia nyaris memiliki konsepsi tentang Tuhan yang begitu beragam—bahkan dalam suatu periode. Buku ini secara cukup utuh menelaah pertumbuhan karakter tiga agama besar—Yahudi, Kristen, dan Islam—dalam mengkonsepsikan Tuhan dalam terang perspektif historis-sosiologis.

Ziarah intelektual yang dilakukan dalam buku ini sebenarnya bermula dari kekecewaan penulisnya, Karen Armstrong, setelah menyadari bahwa ajaran-ajaran agama yang dipelajarinya selama tujuh tahun menjadi biarawati Katolik Roma adalah hasil dari suatu konstruksi historis yang tentu saja bersifat subjektif. Kebenaran-kebenaran agama yang dikhotbahkan itu melewati proses subjektivikasi dan karena itu tidak dapat lepas dari konteks historis-sosiologis. Ini berarti gagasan manusia tentang Tuhan memiliki sejarah yang berbeda-beda antar-generasi, sehingga tidak aneh bila kadang konsepsi ketuhanan suatu generasi akan dipandang tidak cocok bagi generasi berikutnya.

Buku bagus yang terdiri dari sebelas bab ini memulai uraiannya dengan beberapa teori dan pemikiran tentang munculnya gagasan tentang Tuhan. Dengan mengutip beberapa pemikir terkemuka seperti Mircea Eliade, Wilhelm Schmidt atau Rudolf Otto, terungkap bahwa ternyata manusia memang cenderung memiliki kepercayaan terhadap yang gaib yang merupakan dasar dari setiap agama. Kepercayaan terhadap dewa misalnya merupakan contoh dari monoteisme primitif yang mempercayai adanya “Tuhan” yang menciptakan dan mengatur urusan dunia.

Semua konsepsi tentang Tuhan yang dikemukakan dari zaman ke zaman atau dari kelompok yang berbeda—mistikus, teolog, filsuf, saintis, dan sebagainya—terbukti tidak sepenuhnya harus rasional, logis, dan ilmiah. Hal ini semakin menegaskan bahwa sebenarnya setiap gagasan tentang Tuhan sebenarnya tidak sakral, karena ia mesti melibatkan penafsiran manusia. Ada semacam sisi pragmatis dari konsep tentang Tuhan, yakni asal ia bisa diterima oleh masyarakat. Muhammad misalnya, Nabi kaum muslim bertolak dari sebuah konsep dakwah yang pada awalnya cukup sederhana. Dia tidak berpikir bahwa dirinya tengah membangun sebuah agama universal (konsep Tuhan yang universal), melainkan justru menggunakan keyakinan kuno masyarakat Arab yang mengajarkan keesaan Tuhan kepada orang-orang Quraisy.

Kemudian, dalam perkembangannya, pada sekitar abad ke-17, mulai muncul gagasan-gagasan tentang ateisme. Diam-diam, beberapa kelompok mulai berniat menyingkirkan Tuhan dari kehidupan manusia. Periode ini tidak hanya spesifik dialami masyarakat Barat (Yahudi dan Kristen), tapi juga dialami kaum Muslim. Armstrong dalam buku ini memberikan suatu paparan menarik bahwa pada dasarnya ateisme itu muncul akibat ketidakcukupan konsepsi tentang Tuhan dalam mengikuti gerak roda zaman. Atau, bisa jadi ateisme ini muncul akibat merebaknya tindakan-tindakan mengerikan (pembunuhan, perang, dan sebagainya) yang dilakukan atas nama Tuhan.

Saat ini, memasuki milenium ketiga, konsepsi umat manusia tentang Tuhan dihadapkan dengan berbagai pemikiran semisal sekularisme atau spirit humanisme yang ingin menggantikan agama. Buku ini mengajak kita untuk menyegarkan kembali keberimanan kita dan pemahaman serta penghayatan kita terhadap Tuhan, menuju suatu kesadaran bahwa “sosok” Tuhan itu ternyata dapat ditangkap dengan spektrum yang amat luas. Buku ini menggelitik kita untuk melahirkan semangat dan gairah keimanan baru yang bermakna bagi masa depan manusia, agar iman kita itu tidak justru melukai nilai-nilai kemanusiaan.

Read More..

Sabtu, 28 Juli 2001

Melacak Jejak "Sistem Soeharto"

Judul Buku : Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi
Penyunting : Donald K. Emmerson
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2001
Tebal : xxx + 678 halaman


Era transisi bangsa Indonesia menuju kehidupan demokrasi ternyata masih dijejali oleh setumpuk persoalan. Krisis ekonomi yang belum pulih, kerusuhan sosial, konflik vertikal dan horizontal mengiringi pertikaian elit politik, serta ancaman disintegrasi. Tidakkah itu semua merupakan ekses buruk dari “Sistem Soeharto” yang telah berkuasa selama 30 tahun di Indonesia?

Rezim Soeharto telah cukup mampu membentuk suatu struktur mapan yang cukup kokoh di berbagai bidang kehidupan—sosial, politik, ekonomi, budaya, dan yang lain—sehingga lengsernya Soeharto tidak serta merta berarti runtuhnya sistem itu.

Buku ini mencoba menelaah perjalanan panjang bangsa Indonesia di bawah Sistem Soeharto dengan titik tekan pada aspek kenegaraan, ekonomi, dan (budaya) masyarakat, serta bagaimana itu semua menyisakan garis kontinu dalam momen-momen reformasi.

Kelahiran Orde Baru pasca peristiwa G-30-S dimulai dengan suatu komitmen yang kuat untuk menghindari konflik-konflik ideologi, karena itu dianggap akan menyuburkan ladang konflik dan membawa rakyat dalam suatu bayang-bayang keterpecahan sehingga mengancam proses tercapainya cita-cita “modernitas” Indonesia. Orde Baru lebih memilih jalan yang mereka anggap rasional-pragmatis: develomentalisme. Orde Baru tidak mau mengganggap bahwa pilihan mereka ini—penekanan pada pertumbuhan ekonomi sebagai prinsip penting developmentalisme—sebagai persoalan ideologi.

Istilah “Demokrasi Pancasila” yang digunakan Orde Baru menurut R. William Liddle dalam buku ini hanyalah penipuan belaka. Orde Baru pada dasarnya tersusun oleh seperangkat lembaga otoriter yang mengekang partisipasi rakyat. Partisipasi yang dikontrol ini sebenarnya adalah konsekuensi logis dari strategi pembangunan ekonomi yang memerlukan stabilitas sosial yang kokoh. Politik massa mengambang yang merupakan wujud kebijakan depolitisasi massa Orde Baru dibarengi dengan sentralisasi kekuasaan negara.

Kontrol negara juga dilakukan dengan sentralisasi kekuasaan, dengan melibatkan militer sebagai penjaga gawang stabilitas. Sentralisasi ini juga diterapkan dalam bidang administratif, legal, dan finansial. Akibatnya, pemerintah daerah tak berdaya memaksimalkan potensi-potensi sumber daya yang dimilikinya. Daerah hanya menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat untuk dikerahkan pada proyek pembangunan. Efek lainnya adalah bahwa orientasi pemerintah daerah tidak lagi mengarah kepada rakyatnya sendiri, melainkan pada pimpinan negara (yakni Soeharto).

Yang menarik, seperti dicatat oleh Michael Malley (Ohio University), dalam rezim Orde Baru sendiri sempat muncul beberapa ketegangan antara pusat dan daerah. Salah satu kasus yang menjadi contoh di buku ini adalah kasus pembelotan anggota Fraksi Golkar DPRD Kalimantan Tengah dalam pemilihan Gubernur pada tahun 1993 yang menginginkan calon putra daerah diangkat menjadi Gubernur—yang berbeda dengan “petunjuk” dari Jakarta.

Sentralisasi ini dalam beberapa kasus telah berkembang menjadi semacam gerakan “pemberontakan” daerah terhadap pusat kekuasaan akibat ketidakadilan ekonomi yang dirasakan begitu kuat. Kasus Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang muncul sejak 1976 menjadi contoh yang amat tepat dan dibahas secara menarik oleh Malley. Pemberontakan ini, seperti juga pemberontakan oleh PRRI pada akhir 1950-an, awalnya lebih bertujuan untuk mengubah sifat sentralistik republik, bukan untuk lepas dari kesatuan republik.

Kecanggihan “Sistem Soeharto” dalam mengelola rezim adalah bahwa semua itu dilakukan dengan legitimasi konstitusional yang cukup kuat. Dalam Sistem Soeharto konstitusi memang hanya menjadi abdi kekuasaan. Kenyataan ini akhirnya berdampak besar terhadap kegiatan perekonomian negara, dengan terbentuknya model “kapitalisme kroni”. Ketika pasar tidak menentu yang diikuti dengan ketidakpastian politik, ekonomi dan hukum, maka para pengusaha lebih memilih untuk membangun jaringan ekonomi perkoncoan dengan para pemegang kekuasaan.

Akan tetapi, akhirnya Soeharto turun pada 21 Mei 1998. Menurut Donald K. Emmerson, turunnya Soeharto salah satunya dipicu oleh ambruknya bangunan ekonomi yang dibangun selama 30 tahun. Arah globalisasi sebenarnya mengharuskan adanya keseiringan antara demokrasi ekonomi dan demokrasi politik. Tapi Soeharto malah menghalangi modernisasi politik sehingga akhirnya remuklah sistem yang ia bangun itu. Hancurnya perekonomian ini lalu diikuti pula oleh desakan mundur dari massa di bawah dan para kolega politiknya yang juga merasa tertekan.

Ketika Soeharto turun boleh jadi bangsa Indonesia merasa lega karena salah satu penghalang demokratisasi sudah disingkirkan. Namun patut dicatat bahwa bahaya laten Orde Baru—Sistem Soeharto—masih kuat membayangi kehidupan bangsa ini. Ia sudah mengendap secara sistemik dalam berbagai ruang kehidupan bangsa Indonesia.

Dalam konteks inilah buku ini memiliki makna penting dan nilai relevansinya. Sistem otoriter Orde Baru, yang nyaris dikutuk habis-habisan oleh para tokoh reformis, ternyata dibangun dengan suatu karakter tokoh yang amat dominan, yakni Soeharto, yang mengkristal dan mengendap sedemikian rupa sehingga menubuh dalam struktur kesadaran dan struktur sosial-politik bangsa Indonesia. Saking besarnya pengaruh Soeharto sehingga persoalan yang dihadapi saat ini bukan cuma soal bagaimana Indonesia Beyond Soeharto, tetapi juga fakta perihal Soeharto Beyond Indonesia.

Dengan demikian buku ini semakin menegaskan bahwa Orde Baru memang bukan hanya sekedar sosok individu, seperangkat lembaga, atau sekelompok pejabat. Karena itu upaya untuk mendemokratiskan Indonesia di masa mendatang berarti membongkar borok-borok sistemik yang biasa dilakukan oleh Sistem Orde Baru itu, meliputi politik teror, penghormatan berlebih, praktik suap-menyuap, dan sebagainya.

Sementara dalam konteks reformasi, buku ini mengingatkan kita semua agar masalah ketokohan seorang individu (entah itu Gus Dur, Megawati, Amien Rais, Akbar Tanjung, atau yang lain) hendaknya tidak terlalu ditonjolkan dalam rangka upaya-upaya menegakkan reformasi. Seperti ditengarai oleh Ignas Kleden dalam salah satu tulisannya, politik kita di masa reformasi ini ternyata ‘hanya berpindah dari politik aliran yang berorientasi ideologis ke politik karismatis yang berorientasi keunggulan pribadi.’ Buku ini mengajak kita untuk berdamai dengan urusan konflik antar-elit (baca: antar-tokoh politik) dengan lebih memilih kerja-kerja konstruktif dan bersifat struktural ketatanegaraan (pengelolaan negara).

Buku yang terdiri dari 12 bab ini hampir semuanya ditulis oleh para pengamat asing ternama: R. William Liddle, Robert Hefner, Donald K. Emmerson, Robert Cribb, Virginia M. Hooker, dan sebagainya.

Ulasan buku ini boleh dikatakan cukup tuntas karena berusaha menelusuri proses-proses sosiologis dan politik terbentuknya Sistem Soeharto. Pada bagian tertentu, ulasan dalam buku tidak mau melewatkan proses historis yang cukup panjang yang berperan penting dalam membentuk karakter sosial bangsa Indonesia—hingga merujuk pada masa sebelum penjajahan, seperti dalam tulisan Cribb dan Hefner. Kelebihan lainnya adalah keterkaitan sinergis antar-tulisan sehingga terkesan buku ini bukanlah buku kumpulan, melainkan buku utuh yang digarap secara serius.



Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 28 Juli 2001.


Read More..