Minggu, 19 November 2000

Peradaban (dan) Politik yang Terkoyak


Judul Buku : Kekuasaan Tak Pernah Senyum: Ini Bukan Salah Peradaban
Penulis : Mohamad Sobary
Penerbit : Kompas, Jakarta
Cetakan : Pertama, September 2000
Tebal : xx + 181 halaman

Judul Buku : Pil Koplo dan Don Quixote: Kegagalan Membangun Sebuah Peradaban
Penulis : Mohamad Sobary
Penerbit : Kompas, Jakarta
Cetakan : Pertama, September 2000
Tebal : xx + 165 halaman



Salah satu warisan kotor yang ditinggalkan rezim Orde Baru adalah remuknya wajah peradaban (dan) politik di negeri ini. Peradaban menurut pengertian yang luas dikerangkeng dalam definisi dan kendali negara, sementara tafsir dan kebijakan politik dimonopoli elit-elit negara. Pembangunan semata diarahkan untuk memacu kesejahteraan material, dibarengi dengan represi terhadap segala gejolak sosial yang sesungguhnya bersifat alamiah.
Carut-marut yang sedemikian mengenaskan dalam wajah peradaban (dan) politik ini membuat bangsa Indonesia terpuruk dalam situasi krisis yang bersifat multidimensional. Dan, nyatanya, hingga kini, bangsa Indonesia masih belum bisa sepenuhnya melakukan langkah-langkah mendasar untuk memulai sejarah peradaban Indonesia Baru.
Kumpulan kolom Mohamad Sobary yang berasal dari rubrik “Asal Usul” di Harian Kompas ini mencoba mengeksplorasi persoalan-persoalan tersebut dari perspektif yang cukup unik. Sebagai seorang peneliti ilmiah dengan pendekatan antropologi, sekaligus pengamat ‘non-disipliner’—seperti pernah disebut Gus Dur dalam pengantar salah satu buku Sobary yang lain—Sobary melakukan penyelaman terhadap berbagai realitas ketertindasan kebudayaan itu dengan nuansa yang khas. Ada semacam rasa keterlibatan yang dalam yang dapat ditemukan pembaca di dalam kolom-kolom ini, yang menunjukkan rasa tanggung sosial dan dibalut dengan rasa kemanusiaan yang kental.
Keterlibatan sosial yang terbaca dalam pikiran-pikiran Sobary dalam buku ini didasarkan pada asumsi bahwa sebenarnya gaung reformasi yang keras diteriakkan mesti melibatkan lapisan bawah masyarakat. Reformasi bagi Sobary bukan hanya berurusan dengan penggantian penguasa, tetapi, yang lebih penting, membangun basis sosial yang luas di tingkah bawah.
Selama ini masyarakat di lapisan bawah (rakyat kecil) tak pernah dilibatkan dalam proses-proses politik. Partai politik hanya memanfaatkan mereka pada saat pemilu, demi meraih kursi kekuasaan. Inilah kebohongan politik yang melembaga setiap lima tahun, sehingga rakyat dijauhkan dari proses kehidupan sosial yang sebenarnya.
Para elit politik mempergunakan legitimasi sejarah untuk menundukkan kesadaran politik masyarakat di lapisan bawah. Para elit politik menyodorkan sejarah dengan cara baca yang bersifat mistis, sehingga proses pendewasaan politik bagi masyarakat tak kunjung dimulai.
Sejarah, tradisi, atau warisan budaya, disajikan dengan kerangka ideologis: ia dilihat sebagai orientasi sekaligus tujuan hidup bangsa. Tak ada lagi kearifan sejarah yang mengandalkan pembacaan kritis terhadap segala bentuk warisan budaya atau tradisi bangsa. Rakyat diajak untuk bersikap romantis dengan sejarah dengan memitoskan momen-momen tertentu yang dianggap sakral. Pun, pembangunan banyak diisi dengan mendirikan monumen-monumen (peringatan) sejarah yang dapat menjadi simbol legitimasi keberhasilan pembangunan.
Sementara itu, elit-elit politik tak henti-hentinya memainkan perilaku politik yang tidak mendidik masyarakat. Sobary menengarai bahwa seringkali kebencian terhadap lawan politik melahirkan sikap yang mengabaikan prinsip keadilan—bahkan terhadap diri sendiri. Para elit politik itu seringkali menerapkan politik subsistensi: suatu bentuk egoisme politik dengan prinsip mencari keselamatan diri meski harus rela mengenyahkan harga diri, nyali, dan hati nurani.
Dendam politik menjadi landasan bersikap yang dinilai wajar. Pemegang kekuasaan baru seolah dendam atas ketertindasan politik yang dialaminya di masa lalu. Bersitegang dalam politik berarti mengumbar dendam sejarah. Semangat cinta dan kepekaan kemanusiaan yang lebih tinggi menjadi sesuatu yang langka. Fanatisme kembali dihalalkan bukan hanya dalam mengultuskan seseorang, tetapi juga di dalam membenci seseorang.
Akhirnya, konflik politik tak pernah berkaitan dengan konflik budaya atau ideologi yang bermutu. Malah watak kekanak-kanakan yang mengemuka. Lihatlah misalnya ketika Amien Rais mengajukan gagasan tentang negara federal yang sebenarnya merupakan pintu masuk bagi suatu perdebatan bernuansa ideologis demi mengakomodasi situasi politik nasional secara realistis. Beberapa kelompok justru menyikapinya dengan jawaban mematikan: tak ada federal-federalan! Menurut Sobary, sikap seperti inilah yang membuat bangsa ini tak kunjung cerdas dan beradab dalam berpolitik.
Berbagai persoalan rumit yang diulas Sobary dalam kedua buku ini didekati dengan kesederhanaan berpikir ala masyarakat kelas bawah. Tak heran bila kolom-kolom Sobary ini sarat dengan renungan kemanusiaan yang jernih sehingga dapat mencerahkan masalah ruwet yang menimpa bangsa ini.
Gaya Sobary yang cukup sederhana ini seakan-akan menegaskan bahwa kegagalan bangsa ini dalam membangun peradaban (dan) politik antara lain karena bangsa ini telah kehilangan cara kesederhanaan berpikir yang bertumpu kepada harkat kemanusiaan. Kebudayaan yang dibangun selama Orde Baru adalah kebudayaan yang materialistis sehingga lalai mengasah dimensi dalam pada diri manusia. Hukum dan politik berjalan tanpa bimbingan kepekaan etis, karena cara berpikir yang dikembangkan dalam sistem pendidikan cenderung bersifat birokratis. Pergaulan sosial sehari-hari dipenuhi dendam dan kebencian, sementara cinta dan kearifan dikubur dalam-dalam.
Kedua buku ini kurang lebih membisikkan hal yang sama: sudah saatnya bangsa Indonesia membentuk suatu tata kehidupan yang baru, sebagai langkah awal membangun peradaban Indonesia masa depan yang lebih baik. Menurut perspektif ini, segala aspek kehidupan harus dilihat dari kacamata peradaban dalam pengertian luas. Dan, karena peradaban adalah sesuatu yang hanya khas dimiliki manusia, maka manusia harus menjadi sentral pertimbangan bagi setiap langkah kehidupan. Inilah kiblat baru yang perlu dibangun bersama-sama menyambut kelahiran kembali dan kebangkitan bangsa ini.
Dalam buku yang pertama, Kekuasaan Tak Pernah Senyum, Sobary menyorot masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan politik dalam terang pendekatan antropologi dan kebudayaan. Pokok masalah yang dibahas cukup beragam, dari masalah moralitas politik, kepemimpinan politik, hingga masalah pembentukan budaya politik demokrasi. Sementara, dalam buku kedua, Pil Koplo dan Don Quixote, Sobary menggambarkan bagaimana lingkungan kebudayaan yang dibangun selama ini gagal memberikan ruh kehidupan baru bagi masyarakat. Persoalan-persoalan kebudayaan berkaitan dengan masalah pendidikan, agama, moralitas, atau kepemimpinan diuraikan dengan jernih.
Kelebihan buku ini tampak dalam cara bertuturnya yang sederhana, sehingga pembaca awam pun dapat bergabung dalam hiruk-pikuk kehidupan politik dan kebudayaan secara lebih berkesan. Dengan cara ini, reformasi yang dicita-citakan dapat terwujud dan menyentuh seluruh elemen masyarakat.

0 komentar: