Senin, 30 Oktober 2000

Kesaksian atas Carut-Marut Kehidupan

Judul buku: Dua Tengkorak Kepala: Cerpen Pilihan Kompas 2000
Penyunting: Kenedi Nurhan
Penerbit: Harian Kompas, Jakarta
Cetakan: Pertama, Juni 2000
Tebal: xxxiv + 156 halaman


Tradisi mengantologikan sejumlah karya sastra ternyata masih marak dilakukan oleh banyak kalangan, termasuk Harian Kompas—koran nasional dengan jumlah pembaca terbesar di Indonesia. Harian Kompas sendiri belakangan memang berusaha mengintensifkan divisi penerbitannya, yakni untuk menerbitkan buku-buku yang bersumber dari Harian Kompas sendiri. Tradisi mengantologikan cerpen adalah tradisi penerbitan yang “paling tua” di Harian Kompas. Sejak 1992 Kompas tiap tahun (kecuali tahun 1998) menerbitkan kumpulan cerpen terbaik.
Cerpen pilihan Kompas tahun 2000 ini diantologikan dengan judul Dua Tengkorak Kepala, yaitu mengambil dari judul cerpen pilihan terbaik dalam antologi ini, yakni karya Motinggo Busye. Cerpen ini menampilkan potret tragedi kehidupan masyarakat Aceh selama dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM). Cerpen yang merupakan cerpen terakhir karya Motinggo Busye ini—sebelum ia meninggal dunia—mengisahkan tokoh bernama Ali yang tewas dalam pembantaian militer dan dikubur secara massal di Desa Dayah Baureuh.
Kisah tragis Ali dalam cerpen ini mampu dikelola secara baik oleh Motinggo Busye sehingga cukup memperkental makna dan pesan yang hendak disampaikan. Lihatlah misalnya di bagian akhir cerita, ketika Motinggo Busye berusaha memperhadapkan tragedi pembantaian terhadap kakek si “aku” yang merupakan korban pembantaian fasisme Jepang dengan pembantaian terhadap Ali, seperti tergambar dalam kalimat: “Lalu teman saya Ali, bagaimana? Dia malah bukan korban kekejaman tentara penjajah, melainkan korban kekejaman tentara bangsa sendiri?”. Ada nada sinis yang terasa getir dalam kalimat itu yang semakin mempertebal kesan pembaca.
Cerita tentang Aceh juga ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma dalam cerpennya berjudul Telepon dari Aceh. Cerpen ini berkisah tentang sekeluarga pejabat Orde Baru yang korup yang sedang makan-makan bersama di sebuah restoran, hingga kemudian menerima interlokal dari Aceh. Interlokal itu mengabarkan tentang kematian saudara bungsu istri pejabat itu. Setibanya di rumah, di luar kemudian terjadi hujan darah—darah korban kekerasan militer yang dikirim dari Aceh.
Selain tentang tragedi Aceh, profil kehidupan mahasiswa yang lekat dengan simbol reformasi di Indonesia juga tak lepas dari pengamatan cerpenis Kompas. Cerpen Harris Effendi Thahar misalnya, berjudul Darmon, berkisah tentang profil seorang aktivis pergerakan mahasiswa bernama Darmon. Dalam cerita ini digambarkan sosok Darmon yang secara fisik sama sekali tidak necis, bahkan kelihatan tidak intelek, ternyata memiliki kadar pengetahuan dan kepedulian sosial yang cukup tinggi. Seorang pegawai yang kebetulan bertemu dengan Darmon, lantaran Darmon mengantarkan anaknya, terkejut dan kagum dengan kenyataan itu, Diam-diam si pegawai mengidealkan sosok Darmon yang aktivis itu.
Kisah tentang mahasiswa yang tergolong aktivis reformasi ternyata tidak melulu mengantarkan kepada pujian dan perasaan kagum semata. Jujur Prananto melalui cerpennya yang berjudul Seusai Revolusi tampaknya berusaha menampilkan tipe aktivis mahasiswa yang lain dengan apa yang diceritakan Harris Effendi Thahar. Jujur menyajikan paradoks sosok aktivis mahasiswa yang hanya menjadikan isu reformasi sebagai komoditas politik belaka—tidak didasarkan atas kepekaan dan tanggung jawab sosial sebagai mahasiswa. Tokoh bernama Hendaru dalam cerpen ini digambarkan kebingungan ketika mengetahui dana organisasinya—yakni organisasi yang menjadi wadah para aktivis mahasiswa—mulai menipis dan mulai kekurangan untuk kegiatan sehari-hari. Apa yang dilakukan Hendaru di akhir cerpen ini adalah sebuah tindakan yang terkesan paradoks: “menjual” proposal kepada sebuah yayasan internasional untuk sebuah isu buruh yang sebenarnya tidak proporsional. Sebuah sindiran yang sepertinya memang patut direnungkan!
Cerpen-cerpen dalam antologi ini pada umumnya memang banyak memberikan kesaksian atas carut-marut kehidupan Indonesia saat ini yang sedang tertimpa krisis multi-dimensional. Fenomena realitas sosial yang begitu beragam dan bersifat tragis dikemukakan dengan sarana cerpen.
Persoalannya adalah, apakah cerpen cukup mampu memberikan alternatif bagi pembaca untuk menemukan “sesuatu yang lain” yang tidak didapatkan dalam berita di koran atau majalah. Goenawan Mohamad dalam pengantar buku ini mengutip Walter Benjamin yang mengatakan: “setiap pagi membawa kita berita dari seantero bumi, tapi toh kita hampir tak punya cerita-cerita yang layak dicatat.” Apa yang hendak dikemukakan Goenawan dengan kutipan tersebut adalah bahwa sebenarnya cerpen berhadapan dengan realitas sosial memiliki ruang yang cukup lebar untuk menempatkan dirinya, yakni untuk mengendapkan makna berbagai peristiwa dalam suatu formulasi kisah yang menawan. Seorang penyair, dengan demikian, bergelut dengan berbagai peristiwa faktual untuk kemudian mengantarkan pembaca kepada suatu penghayatan atas fakta melalui makna peristiwa yang bersifat dalam.
Peran bahasa yang menjadi elemen penting dalam bercerita tentu saja sangat penting. Karena itu, menurut Goenawan, penjelajahan terhadap potensi-potensi bahasa seharusnya dijadikan prioritas utama dalam penulisan cerpen. Kritik Goenawan terhadap cerpen-cerpen yang termuat dalam antologi ini adalah keterikatannya terhadap realitas faktual yang terlalu besar sehingga memiskinkan kreativitas penulisnya untuk bermain-main dengan dunia bahasa secara lebih maksimal.
Beberapa cerpen dalam antologi ini yang mengambil latar kehidupan sosial-politik di Indonesia memang mengalami dilema tersebut di atas. Ketika cerpen ditulis, dan ada tuntutan agar cerpen itu memberikan pesan tertentu kepada pembaca, maka ketika itu cerpen menjadi “kuda tungganggan” gagasan atau pesan yang henak disampaikan itu. Karena itu, tak heran bila dalam pengamatan Goenawan beberapa cerpenis Kompas dalam antologi ini terjebak dalam persoalan ini. Terlepas dari hal itu, pembaca tentu dapat memberikan penilaian tersendiri terhadap kualitas cerpen-cerpen dalam antologi ini.
Kumpulan cerpen Kompas tahun 2000 ini berisi 16 cerpen pilihan yang ditulis oleh cerpenis-cerpenis terkemuka: Motinggo Busye, Herlino Soleman, Hamsad Rangkuti, Umar Kayam, Prasetyohadi, Harris Effendi Thahar, Ratna Indraswari Ibrahim, Yanusa Nugroho, Abel Tasman, Jujur Prananto, Seno Gumira Ajidarma, Arie MP Tamba, Bre Redana, Nenden Lilis A, A.A., Navis, dan Gus tf Sakai.
Pada umumnya, cerpen-cerpen dalam antologi ini memang seperti memberi kesaksian atas dinamika kehidupan Indonesia saat ini. Selain potret kehidupan demokrasi yang kental dengan suasana politis, seperti dalam cerpen Dua Tengkorak Kepala, Telepon dari Aceh, Darmon, atau Seusai Revolusi, cerpen berjudul Usaha Beras Jrangking karya Prasetyohadi, Bulan Angka 11 karya Arie MP Tamba, atau Metropolitan Sakai karya Abel Tasman berusaha menampilkan berbagai gejolak perubahan sosial yang terjadi di tanah air.
Cerpen-cerpen dalam antologi ini memang layak diapresiasi bersama. Setidaknya, ada tiga alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, antologi ini dapat dijadikan sebagai tolok ukur perkembangan “sastra koran” yang marak dalam kehidupan kesusastraan di tanah air. Kedua, cerpen-cerpen dalam antologi ini dapat dilihat sebagai sebuah cara pandang para sastrawan Indonesia berhadapan dengan realitas sosial-politik di negerinya. Ketiga, secara umum dapat dikatakan bahwa cerpen berusaha mengail gagasan dan pesan dari realitas sosial melalui realitas tekstual yang ia bangun. Pada gilirannya, kepada pembaca, cerpen akhirnya menyajikan semacam pengalaman tekstual yang bersifat alternatif berhadapan dengan realitas faktual di masyarakat.

Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 29 Oktober 2000.

0 komentar: