Rabu, 23 Agustus 2000

Janji Pembebasan dari Langit

Judul Buku: Wahyu dan Revolusi
Penulis: Ziaul Haque
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Mei 2000
Tebal: x + 293 halaman


Masyarakat yang mengalami suatu problem sosial yang tak tertuntaskan berlarut-larut tentu akan mencari-cari tempat harapan yang bisa ditambatkan: kepada siapa harapan pembebasan harus digantungkan untuk dapat menyelesaikan persoalan mereka sesegera dan sebaik mungkin?
Agama merupakan salah satu institusi sosial yang turut berusaha memberikan janji pembebasan atas kebuntuan problem sosial yang dihadapi suatu masyarakat. Mulanya agama memang bukanlah sebuah institusi sosial yang terlibat langsung dengan proses-proses sosial-kemasyarakatan. Awalnya agama tumbuh dari sebentuk spiritualitas-personal yang berlandaskan pada sejumlah nilai tertentu yang bersumber dari wahyu Tuhan.
Karena itulah, agama secara umum seringkali dikaitkan dengan masalah kepercayaan. Kepercayaan yang dimaksud di sini adalah menyangkut sesuatu yang berada di luar realitas inderawi, yang mengatasi pikiran dan tangkapan indera manusia, baik itu berbentuk personifikasi Tuhan atau sejumlah tata-nilai spiritual. Inilah makna transendensi agama. Setelah melalui suatu proses sosial tertentu, agama akhirnya memiliki struktur internal yang meluas, tidak hanya sekedar masalah kredo keimanan. Ada pula struktur yang bersifat kognitif (intelektual, keilmuan) yang melahirkan pengetahuan tentang agama, struktur institusional yang menjadi sarana sosialisasi nilai-nilai agama, serta struktur etik yang berusaha memberi tuntunan moral dalam kehidupan manusia.
Struktur internal agama yang mewujud dalam bentuk institusi sosial inilah yang kemudian hadir ke hadapan suatu masyarakat sebagai semacam alternatif penyelesaian masalah-masalah sosial tersebut.
Buku ini adalah sebuah usaha penulisnya untuk merangkum pesan-pesan sosial yang bersifat revolusioner dari kehidupan sejumlah nabi. Ada sepuluh nabi yang diulas dalam buku ini: Adam, Nuh, Hud, Saleh, Ibrahim, Yusuf, Syu`aib, Musa, Isa, dan Muhammad. Untuk menuju ke sana, Ziaul Haque—penulis buku ini, seorang intelektual terkemuka dari Pakistan—tidak menempuh penelitian historis secara langsung, melainkan dengan mengkaji ayat-ayat al-Qur’an yang mengisahkan kehidupan para nabi itu, untuk kemudian ditafsirkan diikuti dengan penjelasan yang memadai.
Ziaul Haque berusaha mengemukakan keterkaitan erat antara wahyu dan revolusi, seperti ditegaskan al-Qur’an dalam sejarah nabi-nabi. Wahyu sebagai titik tolak sikap keberagamaan pada tahap awal mentransformasikan kesadaran ilahiyah seorang nabi-revolusioner untuk membangkitkan masyarakatnya yang mati dan korup dari berbagai problem keakutan sejarah. Para nabi-revolusioner menanggung beban dan tanggung jawab sosial untuk tidak hanya berhenti pada wilayah spiritualitas-individual belaka, melainkan harus meneruskannya dengan menyerukan kebenaran kepada khalayak serta memperjuangkan suatu struktur sosial yang emansipatif dan egaliter.
Karena itu, menurut Ziaul Haque, ada tiga tujuan utama para nabi-revolusioner, yaitu untuk menyatakan kebenaran, berperang melawan kepalsuan (batil) dan penindasan (zulm), dan membangun suatu komunitas berdasarkan kesetaraan sosial, kebaikan, keadilan, dan kasih sayang.
Dalam masing-masing sejarah nabi revolusioner itu, konsep jihad merupakan benang merah yang mengaitkan semangat revolusioner mereka berhadapan dengan tatanan sosial yang diskriminatif dan penuh penindasan. Jihad merupakan rumusan cara, metode, rencana, dan strategi untuk mewujudkan tatanan sosial yang berdasarkan kesetaraan, keadilan, dan kebaikan, seperti diisyaratkan oleh pesan wahyu ilahi. Dengan pengertian ini, konsep jihad jelas merupakan suatu konsep yang berkesinambungan (tanpa akhir) untuk melawan elemen-elemen penindasan dalam struktur masyarakat.
Berkait erat dengan konsep jihad tersebut di atas, terdapat konsep hijrah yang berusaha mengukur derajat kesetiaan seseorang terhadap komitmennya pada kebenaran wahyu. Secara sederhana, hijrah berarti suatu perpindahan dari imoralitas kepada moralitas, dari gelapnya kepalsuan kepada terangnya kebenaran wahyu. Hijrah berarti suatu peneguhan komitmen untuk mentransformasikan semangat kebenaran wahyu ilahiyah ke dalam suatu struktur obyektif masyarakat.
Hanya saja, menurut Ziaul Haque, konsep-konsep nabi-revolusioner yang menghubungkan semangat wahyu dengan revolusi sosial sulit untuk tetap dirawat dalam struktur keagamaan yang feodalistik. Kepentingan-kepentingan politik maupun ekonomi ternyata mampu melencengkan semangat revolusioner wahyu kepada keinginan untuk mempertahankan status quo—struktur penindasan yang diskriminatif. Konsep jihad misalnya kemudian ditafsir semata sebagai ritual verbal peneguhan keimanan seseorang, tanpa harus terkait langsung dengan realitas obyektif.
Buku ini cukup penting untuk dikaji bersama, terutama untuk tidak melupakan semangat revolusioner agama-agama, seperti telah menjadi suatu kesaksian sejarah perjalanan umat manusia. Sayangnya, Ziaul Haque dalam buku ini semata-mata hanya mengandalkan pendekatan normatif untuk menegaskan keterkaitan wahyu dan revolusi. Eksplorasi historis atas sejarah nabi-nabi bahkan tidak disajikan dengan melibatkan berbagai struktur sosial yang bermain dalam proses historis, sehingga penjelasan tentang keterkaitan antara wahyu dan revolusi dalam bingkai sejarah nabi itu terasa mengawang-awang.
Meski begitu, buku ini tetap memberikan suatu sumbangan penting bagi studi agama-agama. Persoalan normatif yang berkaitan dengan semangat pembebasan agama belakangan ini seringkali diabaikan, bahkan oleh para pemuka agama itu sendiri, sehingga pada akhirnya agama tinggal sebagai ritual-formal, dan kehilangan semangat awalnya yang revolusioner. Pendekatan normatif untuk membuktikan semangat revolusioner agama menjadi amat penting sebagai titik tolak membangun suatu teologi yang berorientasi antropologis, tidak semata berorientasi teistis saja. Ia akan menjadi sebuah basis teoritis untuk sebuah aksi pembebasan sosial yang revolusioner. Karena, seperti kata Vladimir Ilyic Lenin, “Tidak ada tindakan revolusioner tanpa teori revolusioner.”

Tulisan ini dimuat di www.berpolitik.com pada 17 Oktober 2000.

0 komentar: