Sabtu, 30 September 2000

Mengakhiri Monolog Barat tentang Timur

Judul Buku: Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat
Penulis: Hassan Hanafi
Penerbit: Paramadina, Jakarta
Cetakan: Pertama, Juli 2000
Tebal: 318 + xx halaman


Menurut Marshall McLuhan, kebudayaan merupakan suatu bentuk “perluasan manusia” (extension of man) dalam rangka mengatasi keterbatasan ruang-waktu yang melingkupinya. Dalam pengertian yang kurang lebih masih bersifat paralel, dengan meminjam pemikiran Gramsci, kebudayaan pada tahapan yang lebih jauh adalah juga suatu bentuk hegemoni dari suatu kelompok kepada kelompok lainnya.
Hal yang demikian ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang buruk, melainkan memang sudah menjadi suatu aspek dinamis dari kebudayaan. Persoalannya adalah bahwa hegemoni kebudayaan itu berlanjut pada pembentukan citra-citra kebudayaan yang dijelaskan secara berbeda: ada kebudayaan superior dan ada kebudayaan inferior. Lebih parah lagi, ketika kebudayaan superior lalu merasa berhak untuk memperadabkan kelompok kebudayaan inferior. Asumsi inilah yang menjadi landasan pembenaran bagi dilakukannya kolonialisme dan imperialisme.
Dalam bentuknya yang lebih canggih, kolonialisme dan imperialisme kontemporer adalah kolonialisme dan imperialisme kesadaran untuk membentuk, menundukkan, mendisiplinkan, dan menggiring nalar dan alam bawah sadar suatu masyarakat. Cara-cara yang dilakukan adalah dengan media. Masih menurut McLuhan, the medium is the message, media itu sendiri membentuk pesan dan citra kultural tertentu. Perkembangan teknologi, terutama teknologi multimedia, jelas sangat menguntungkan bagi upaya-upaya kolonisasi kesadaran ini.
Model-model seperti ini kemudian membentuk suatu monolog kebudayaan superior yang diperdengarkan kepada masyarakat kebudayaan inferior. Tentang oposisi-biner antara rasio dan kegilaan misalnya, Michel Foucault (1926-1984) dalam Madness and Civilization mengatakan bahwa selama ini bahasa psikiatri yang mengungkapkan tentang kegilaan hanyalah semacam monolog rasio tentang kegilaan yang berada dalam suatu ruang yang sunyi. Apa yang dilakukan Foucault dalam bukunya itu adalah suatu upaya untuk mengakhiri monolog rasio tentang kegilaan, yang dilakukannya dengan mengurai arkeologi keheningan itu dari perspektif historis.
Seperti juga Foucault, Hassan Hanafi dalam buku ini juga berada dalam kerangka pemikiran untuk mengakhiri monolog kesunyian suatu kebudayaan yang dianggap superior, yakni kebudayaan Barat. Selama ini, citra kebudayaan Barat sedemikian superior, berhadapan dengan kebudayaan Timur yang dianggap inferior. Citra superioritas Barat ini kemudian dituangkan dalam wacana orientalisme yang menjadikan kebudayaan Timur sebagai obyek kajian. Inilah awal monolog kebudayaan Barat tentang kebudayaan Timur.
Sebagai sebuah wacana yang bersifat ilmiah, orientalisme sudah memiliki akar historis yang cukup panjang. Bersamaan dengan gelombang kolonialisme Eropa ke wilayah Timur pada abad ke-17, dilakukan pula sejumlah aktivitas “ilmiah” yang berupa studi kebudayaan Timur. Kebudayaan Timur dianggap sebagai the other—seperti juga kegilaan berhadapan dengan rasio—sehingga sah-sah saja bila kebudayaan Timur itu dijadikan obyek kajian.
Selanjutnya, orientalisme menjadikan Barat sebagai sentral kebudayaan. Tentu saja, yang namanya pusat tentu cenderung menggilas yang berada di wilayah pinggiran. Demikianlah. Identitas kultural masyarakat Timur lambat-laun tersingkir dan ikut terlebur dalam identitas kultural masyarakat Barat bersama-sama dengan arus globalisasi yang kian tak terbendung.
Karena itu, dengan usahanya untuk mulai membangun suatu wacana baru yang disebutnya oksidentalisme, yakni studi tentang ke-Barat-an, Hassan Hanafi sebenarnya menginginkan adanya suatu perimbangan diskursif dalam kajian-kajian kebudayaan. Hassan Hanafi menginginkan agar identitas kultural masyarakat Timur tidak tergilas begitu saja tanpa berarti harus mengisolasi diri dari interaksi masyarakat kosmopolit.
Agenda wacana oksidentalisme ini dalam pengertian yang lain oleh Hassan Hanafi dimaksudkan untuk mempertegas posisi ego (kebudayaan masyarakat Timur, Islam) di hadapan the other (kebudayaan masyarakat Barat). Dalam terang keutuhan seluruh proyek intelektual Hassan Hanafi, wacana oksidentalisme ini berada dalam tahapan kedua, yang kesemuanya berada dalam konteks upaya menghidupkan kembali semangat agama. Proyek intelektual Hassan Hanafi adalah suatu upaya penyikapan terhadap realitas kekinian dengan melakukan rekonstruksi terhadap tradisi lama, penegasan posisi di hadapan kebudayaan Barat, dan sikap kritis terhadap realitas kekinian.
Hassan Hanafi menegaskan bahwa oksidentalisme ini tidak berada dalam tataran politis, melainkan berada dalam tataran analisa ilmiah. Sepertinya, Hassan Hanafi tidak menginginkan wacana oksidentalisme ini menjadi suatu bentuk sikap reaksioner terhadap hegemoni kebudayaan Barat. Bila yang terjadi adalah demikian, maka wacana oksidentalisme berada dalam medan dominasi-represif yang secara substantif tidak bersifat produktif. Dalam konteks ini, oksidentalisme harus pula dimaknai sebagai awal dimulainya masa-masa kreasi inovatif kelompok kebudayaan Timur untuk menemukan rumusan teoritik yang bersifat mandiri untuk memahami realitas.
Langkah-langkah awal Hassan Hanafi untuk mencoba membuka wacana oksidentalisme ini dilakukannya secara cukup serius dan menarik. Melalui pendekatan historis, Hassan Hanafi mengurai satu-persatu perkembangan sejarah Filsafat Barat yang menjadi ruh kesadaran kebudayaan Eropa (Barat). Seperti yang juga dilakukan Foucault dalam menelusuri sejarah kegilaan (atau juga sejarah penjara dan sejarah seksualitas), Hassan Hanafi mengangkap wacana-wacana yang tertindas (atau ditindas) dan disingkarkan dari ladang sejarah kebudayaan Barat.
Pada awal pertumbuhan kesadaran Eropa yang dalam ungkapan Hassan Hanafi merupakan sumber kesadaran Eropa, Hassan Hanafi berhasil membuka-lebar tabir-tabir historis yang mendukung bagi terbentuknya citra superioritas kebudayaan Eropa. Dalam mengklasifikasikan sumber-sumber kesadaran Eropa, Hassan Hanafi secara tegas menyebutkan bahwa ada sumber-sumber yang tidak terekspos ke permukaan. Sumber yang tak terekspos yang sebenarnya ikut menjadi sumber kesadaran Eropa (yakni yang juga ikut menebar benih pemikiran filsafat di dunia Barat) adalah sumber-sumber dari kebudayaan Timur lama (Persia, Mesir, Syria, Cina, dan sebagainya) dan dari lingkungan kebudayaan Eropa sendiri—dengan corak-corak tertentu. Hal ini kemudian semakin menegaskan bahwa pertumbuhan kesadaran Barat sama sekali tak bisa terlepas dari kebudayaan Timur dan akar historis yang membentuk corak kesadaran Eropa sendiri. Dengan begitu, universalitas kebudayaan Barat digugat.
Buku ini jelas menarik dan berguna sekali untuk dibaca, terutama untuk menumbuhkan sikap kritis yang lebih konkret terhadap kebudayaan dan kesadaran Eropa (Barat) yang saat ini telah nyaris menggenangi seluruh kesadaran masyarakat dunia. Buku ini secara gamblang menegaskan bahwa superioritas kebudayaan Barat itu hanyalah mitos yang dibangun dengan penyembunyian informasi-informasi tertentu yang mengiringi pertumbuhannya. Apa yang diinginkan dari buku ini secara lebih jauh tidak lain adalah upaya untuk berbagi informasi secara lebih adil terhadap berbagai kebudayaan dunia, demi menghindari rasialisme kultural yang jelas-jelas tidak manusiawi.
Sebagai catatan akhir, patut diketahui, bahwa buku bagus yang diangkat dari karya Hassan Hanafi berjudul Muqaddimah fi Ilm al-Istighrab ini sebenarnya belum seluruhnya tuntas penerjemahannya dalam buku ini. Terjemahan ini baru memuat dua bab dari delapan bab yang ditulis Hassan Hanafi, yang seluruhnya hampir berjumlah 900 halaman itu. Yang pasti, diskursus oksidentalisme ini menarik untuk ditanggapi, dengan ikut membaca dan mengkritisi pemikiran Hassan Hanafi, untuk kemudian dikembangkan dalam bentuk studi-studi kebudayaan kontemporer.

Tulisan ini dimuat di www.detik.com 7 September 2000.

0 komentar: