Kamis, 30 Desember 1999

Harga Sebuah Monumen: Catatan dari Monumen Jogja Kembali

Monumen Jogja Kembali (Monjali) merupakan salah satu obyek wisata yang berada di wilayah Yogyakarta. Kota Yogyakarta sendiri memiliki banyak identifikasi yang dilekatkan kepadanya: Kota Budaya, Kota Pelajar, dan juga Kota Perjuangan. Dalam sejarah perjuangan (kemerdekaan) Bangsa Indonesia, Yogyakarta tercatat pernah menjadi Ibukota sekaligus pusat perjuangan menuju kemerdekaan. Momen Serangan Oemoem 1 Maret 1949 misalnya, merupakan sejarah amat penting yang selalu mengingatkan orang akan Yogyakarta. Keterlibatan kota Yogyakarta sebagai kota perjuangan juga tercatat sebagai titik tolak perjuangan (perang) gerilya Jenderal Besar Soedirman yang sudah cukup legendaris itu.
Kira-kira, demi mengenang dan melestarikan warisan sejarah beserta etos kebudayaan dan perjuangannya itulah, maka dibangun Monumen Jogja Kembali, yang disingkat menjadi Monjali. Dalam buku panduan Monumen Jogja Kembali disebutkan:
Tujuan pembuatan monumen “Yogya Kembali” di samping merupakan penghormatan kepada para pelaku perjuangan, juga sebagai sarana pewarisan nilai-nilai dan semangat juang 1945 yang patriotik dan heroik kepada generasi penerus dalam mempertahankan kemerdekaan.
Dalam konteks keindonesiaan masa kini, makna dan relevansi yang dapat ditemukan dari monumen tersebut sebenarnya tidak lain adalah semangat untuk menghargai kebebasan manusia, untuk dapat hidup dengan hak-hak asasi yang dimilikinya. Dari puing sejarah yang kemudian dirawat dan ditata sedemikian rupa dalam monumen itu, bangsa Indonesia seperti hendak membangun kembali etos dan semangat juang itu: memperjuangkan hak-hak asasi manusia melawan imperialisme asing. Tulisan ini sekedarnya ingin memberikan catatan-catatan berdasar kunjungan yang telah dilakukan penulis untuk kemudian direfleksikan dari perspektif Filsafat Sejarah. Dalam konteks yang lebih luas, penulis akan mencoba menghubungkan makna dan keberadaan monumen tersebut dalam konteks sosial-budaya yang lebih luas, yakni situasi sosial-budaya Bangsa Indonesia saat ini.
* * *
Monumen Jogja Kembali terletak di dusun Jongkang, desa Sariharjo, kecamatan Ngaglik, kabupaten Sleman, dan berada di tepi utara Jalan Lingkar (Ringroad) Utara kota Yogyakarta. Monumen Jogja Kembali menempati areal seluas 55.680 m2 dengan beberapa fasilitas fisik untuk mendukung keberadaan monumen itu sendiri. Bangunan utama monumen yang berbentuk cukup unik ini selesai dibangun secara keseluruhan pada bulan Juni 1989, mulai ketika diletakkan batu pertamanya oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada 29 Juni 1985. Secara fisik, Monumen ini terkesan cukup mewah. Karena memang bentuknya yang unik sedemikian rupa serta cukup artistik, maka jangan heran bila biaya untuk pembangunan monumen ini cukup besar. Bangunan ini dibagi menjadi tiga lantai utama. Lantai pertama merupakan ruang pameran barang-barang bersejarah seperti pada museum pada umumnya. Lantai kedua merupakan ruang diorama yang dirancang oleh Tim dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Lantai ketiga merupakan ruang Garbha Graha yang menempati di puncak bangunan.
Keunikan bangunan Monumen ini tidak hanya sekedar dapat dilihat dari bentuk bangunannya (arsitektural), tetapi juga dari letak atau lokasi bangunan itu dalam wilayah geografis Yogyakarta. Sebagai sebuah kota yang kehidupannya masih kental dengan berbagai perilaku mistisme, seperti juga tercermin dalam kehidupan Keraton Yogyakarta, lokasi museum ini secara geografis terletak dalam suatu jalur mistis di antara “poros makro kosmos”. Monumen ini terletak di “Sumbu Imajiner” yang dihormati masyarakat Yogyakarta, yakni Gunung Merapi – Tugu Pal Putih – Keraton – Panggung Krapyak – dan Laut Selatan. Monumen ini sendiri terletak di antara Gunung Merapi dan Tugu Pal Putih.
Apa yang tercermin dari hal ini sebenarnya adalah bahwa sejak awal, para pendiri Monumen ini merancang dan menghendaki agar Monumen yang secara fungsional memberi sebuah sarana refleksi sejarah perjuangan kemerdekaan bagi masyarakat ini juga memperoleh suatu legitimasi magis dari masyarakat. Struktur masyarakat Jawa dan masyarakat Indonesia pada umumnya yang masih mempercayai hal-hal yang bersifat magis memungkinkan hal tersebut. Secara tidak langsung pula, dapat ditarik kesimpulan secara implisit bahwa dalam proses perjuangan kemerdekaan yang dulu terjadi, ada pula banyak nuansa-nuansa supranatural yang ikut bermain—meski hal ini tidak tercermin secara keseluruhan dalam koleksi Monumen.
Memang cukup mengherankan, bila kita sedikit kritis dengan bertanya sejauh mana fungsi monumen ini dalam kehidupan konkret masyarakat dengan biaya yang harus dikeluarkan sejak ia didirikan hingga berdiri saat ini (walaupun tentunya juga cukup mampu memberi pemasukan dana bagi pemerintah). Apakah kiranya Monumen yang dapat dikatakan cukup elit ini sepadan fungsinya dengan yang semestinya? Memang, sulit untuk mengukur jawaban dari pertanyaan yang mungkin aneh ini. Tetapi, secara umum, bangsa Indonesia memang masih saja mengalami keterasingan dari sejarahnya sendiri. Taruhlah kita lihat bagaimana sikap para pemuda kita saat ini yang tidak terlalu paham dengan sejarah bangsanya. Referensi masa lalu bangsa yang begitu besar dan menggambarkan etos masa depan di balik semua itu sulit untuk dipahami, terutama dalam konteks dunia borjuasi kapitalisme-global yang meninabobokan kesadaran sejarah, untuk hanya berpikir tentang kebaruan.
Kekhawatiran yang muncul mungkin adalah semacam prasangka, jangan-jangan Monumen ini hanya dibangun demi suatu proyek! Siapa tahu? Namun, dari perspektif yang optimis, seharusnya Monumen ini dijadikan sebagai sebuah bahan refleksi yang dalam untuk memahami sejarah bangsa ini. Dalam proses sejarah ini, kita tahu, juga banyak terjadi berbagai kesalahan yang juga memalukan; seperti ditulis Rosihan Anwar di Kompas, 19 Desember lalu, bahwa sesudah Belanda menduduki Yogyakarta pada 18 Desember 1948, Belanda menyewa banyak spion dari penduduk pribumi. Sayang sekali. Kepentingan masa depan bangsa harus ditukar dengan kepentingan sesaat. Betapa picik pandangan orang-orang yang rela menghamba kepada penjajah saat itu. Hal seperti inilah yang mungkin patut direnungkan dari kejadian tersebut. Dan, semoga, hal-hal yang lainnya dapat ditemukan dalam sela-sela ruang Monumen Jogja Kembali itu.


2 komentar:

annosmile mengatakan...

tempat yang menarik
sayang tidak dilengkapi dengan foto2

M Mushthafa mengatakan...

sayangnya dahulu ketika saya ke tempat ini, saya tidak membekali diri dengan kamera.