Minggu, 14 April 1996

Islamisasi di Bidang Psikologi

Judul Buku: Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami
Penulis: Hanna Djumhana Bastaman
Penerbit: Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Oktober 1995
Tebal: xvi + 243 halaman


Gagasan tentan Islamisasi ilmu pengetahuan, yang muncul pada sekitar dekade 70-an, akhir-akhir ini mulai kembali marak diperbincangkan. Ide yang berangkat dari sebuah perdebatan panjang tentang eksistensi ilmu pengetahuan itu sendiri—apakah ia bebas nilai atau tidak—akhir-akhir ini rupanya telah menampakkan adanya suatu kecenderungan akan mencapai ke tingkat aksi. Fenomena semacam ini dapat kita lihat bila kita mencermati perkembangan pergumulan pemikiran kaum ilmuwan di bidangnya masing-masing. Ada semacam tarik-menarik antar nilai-nilai dan konsep teoritis ilmu pengetahuan dengan konsep normatif keagamaan, yang secara lambat laun mengisyaratkan adanya suatu upaya untuk mengintegrasikan keduanya.
Dalam konteks Islam sebagai sebuah sistem nilai, maka Islam seharusnya mampu memberi makna dan etika dalam ilmu pengetahuan. Ini berarti, nilai-nilai dan norma-norma Islam harus diupayakan untuk dapat berintegrasi dengan sistem, metode, wawasan, dan teori-teori ilmu pengetahuan modern. Sebab bagaimanapun, sebuah ilmu pengetahuan itu bertolak dari sebuah aksioma yang tidak pernah dibuktikan secara pasti keberadaannya. Sementara agama, dalam hal ini Islam, jauh lebih pasti daripada ilmu karena tidak mengenal relativisme moral. Artinya, posisi agama ada di atas ilmu, sebab ilmu merupakan penurunan dari agama (Kuntowijoyo, 1991, halaman 320-321).
Hanna Djumhana Bastaman, penulis buku ini, sebagai seorang psikolog muslim yang telah cuup lama bergelut dalam wacana pemikiran psikologi, rupanya tertarik untuk mencoba menformulasikan gagasannya tentang Islamisasi Psikologi dalam sebuah buku.
Bila diperhatikan, memang ternyata di tengah perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, wacana tentang ide Islamisasi psikologi masih belum banyak yang dipublikasikan. Inilah salah satu latar belakang diterbitkannya buku ini—sebagaimana diakui oleh editor buku ini, Fuad Nashori. Walaupun buku ini sifatnya merupakan kompilasi dari berbagai tulisan dan makalah-makalah yang ditulis Hanna dalam berbagai kesempatan, hal tersebut tidak mengurangi orisinilitas dan komprehensifitas ide dalam buku ini.
Psikologi sebagai salah satu ilmu pengetahuan modern, penuh dengan berbagai macam aliran yang berkembang. Kita mengenal apa yang disebut dengan aliran psikoanalisis yang dikembangkan oleh Sigmund Freud, psikologi humanistik, aliran behaviorisme, dan sebagainya. Dalam perkembangannya akhir-akhir ini, yang menarik adalah adanya apa yang disebut oleh Budhy Munawar-Rachman sebagai arah baru dalam psikologi kontemporer. Di mana dengan semakin disadarinya bahwa ada sebuah kekurangan dari psikologi-barat modern, maka nampaklah sebuah gejala akan semakin diperhatikannya “psikologi tradisional” yang dikembangkan di dunia timur. Bahkan Stuart B. Litvak dalam bukunya yang berjudul How to Study Psychology: A Basic Field Guide for Students and Enthusiasts menyebutkan bahwa sufisme, sebagai salah satu tradisi keislaman, sudah seharusnya lebih diperhatikan, karena ia juga memiliki dimensi-dimensi psikologis yang tak kalah penting untuk pengembangan kesadaran manusia (Jurnal Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. V, Tahun 1994, halaman 3).
Dengan demikian, potensi untuk diintegrasikannya nilai-nilai Islam dengan psikologi modern, cukup besar. Mengingat di antara sekian banyak disiplin ilmu pengetahuan, psikologilah yang paling mudah dikaitkan dengan nilai dan norma Islam, karena kejiwaan memang ilmu yang sarat dengan nilai (Kuntowijoyo, 1991, halaman 325).
Dalam melihat disiplin ilmu psikologi tersebut, Hanna mendapatkan adanya sebuah kecenderungan pemahaman psikologi yang sifatnya antroposentris. Maka secara implisit, dengan pemahaman yang demikian, manusia mempunyai peran sentral dalam psikologi. Dalam artian, ia telah menganggap bahwa Tuhan tidak lagi berperan dalam psikologi, dan peran Tuhan itu telah direduksi oleh manusia. Padahal, bagaimanapun, Tuhan adalah pusat dari kehidupan ini. Hal ini juga yang disinggung oleh Mulyanto, staf peneliti di BATAN PUSPITEK Serpong, sebagai suatu kenyataan bahwa ternyata materialisme telah menyelinap dalam tubuh ilmu pengetahuan, bersembunyi dalam struktur dalamnya, hingga ia tak tampak sebagai nilai yang dianut oleh ilmu pengetahuan tersebut (Jurnal Ulumul Qur’an, No. 9, Vol. II, Tahun 1991, halaman 55). Hal ini terjadi tak lain adalah karena sebagian kaum ilmuwan tetap bersikukuh dengan pendapatnya bahwa ilmu pengetahuan itu bersifat bebas nilai, sehingga ia kemudian meninggalkan etika-etika kemanusiaan. Kemudian, dari hal ini Hanna mengintroduksi sebuah istilah baru dalam psikologi, yaitu antropo-religiosus-sentris.
Mengupayakan integrasi psikologi dengan Islam, bukan berarti harus menganggap salah sama sekali wawasan-wawasan, teori-teori, sistem, metode dan tehnik pendekatan yang sudah ada dan berkembang di lingkungan psikologi. Tetapi yang perlu diupayakan adalah penyempurnaan dan perbandingan, yang kemudian diikuti dengan reorientasi falsafi dan konfirmasi wawasan psikologi tersebut dengan wawasan yang berlandaskan kepada nilai-nilai keislaman, sehingga Islam mampu untuk masuk pada struktur pemikiran psikologi yang terdalam. Dalam hal ini, Hanna menyebutkan enam metode yang digunakan sebagai upaya menghubungkan sains dan agama. Yaitu similiarisasi, paralelisasi, komplementasi, komparasi, induktifikasi, dan verifikasi.
Salah satu bagian terpenting yang menjadi bahasan utama Hanna dalam buku ini, adalah tentang adanya dimensi ruh dalam struktur kepribadian manusia. Inilah yang tidak dimiliki oleh manusia, yang tidak pernah dibahas dalam wacana psikologi modern. Walaupun sudah diisyaratkan oleh Al-Qur’an, bahwa hakikat ruh itu hanyalah diketahui oleh Allah saja (Q.S., Al-Isra’/17: 85), tidak berarti Hanna telah melampaui batas-batas etika kewajaran. Namun, sebagaimana diakuinya, bahwa pembahasannya tentang ruh hanyalah berkisar pada mencermati gejala-gejala yang ditimbulkannya saja. Sebab bagaimanapun juga, menurut Sa’id Hawwa, pembicaraan mengenai ruh merupakan tindakan berpura-pura. Oleh karenanya, pembicaraan tentang ruh hanya berkisar pada dua hal: mengembalikan ruh pada pengetahuan asalnya, dan pada kesempurnaan pengabdianna (Sa’id Hawwa [terjemahan Indonesia], 1995, halaman 55).
Hal lain yang menarik untuk diperhatikan, adalah adanya sedikit persamaan, antara pembahasan tasawuf dengan psikologi. Hanna mengakui tentang adanya hal tersebut, namun Hanna tetap memandang bahwa secara hakiki, terdapat perbedaan antara keduanya. Psikologi adalah sebagai sains, dan tasawuf sebagai bagian dari agama. Dan, manakala keduanya telah berintegrasi secara benar, akan terciptalah sebuah sinergi baru dalam ilmu psikologi dan agama.
Secara umum, tema dalam buku ini adalah upaya untuk mencoba membandingkan asas-asas psikologi dengan asas-asas Islam mengenai manusia. Yang dimaksud di sini adalah melihat sejauh mana terdapat kesamaan, kesejalanan, saling menunjang dan melengkapi atau bahkan saling menyangkal di antara keduanya. Buku ini dibagi dalam empat bagian utama. Bagian pertama mengungkapkan dasar-dasar perkembangan psikologi berwawasan Islam. Bagian kedua membahas masalah konsep utama dalam wacana psikologi tentang manusia. Bagian ketiga mencoba menawarkan konsep tentang bagaimana pribadi yang sehat dalam perspektif Islam. Bagian ini nampak bersifat lebih praktis. Sedangkan bagian keempat menggambarkan pendekatan praktis secara umum kepada masyarakat dalam hubungannya dengan psikologi.
Dari 20 tulisan yang disajikan dalam buku ini, kiranya perlu kita catat bahwa ini adalah sebagai sebuah terobosan baru dalam perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, yang patut untuk dihargai dan terus dikembangkan di bidang disiplin ilmu yang lainnya.

Tulisan ini disusun sekitar bulan Februari-Maret 1996.

0 komentar: