Selasa, 30 April 1996

Agama Menantang Masa Depan

Komaruddin Hidayat & Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial, Jakarta: Paramadina, Desember 1995, 160 + xlii


Beralihnya era agraris ke masyarakat industri yang dicirikan dengan era yang penuh dengan teknikalisme, kapitalisme, dan konsumerisme membuat hegemoni ilmu pengetahuan (modern) terhadap agama semakin menguat. Apalagi dengan munculnya berbagai macam penemuan-penemuan teknologi yang nampaknya kemudian membuat pola dan struktur sosial kehidupan manusia menjadi semakin lebih rasional. Sebagai kelanjutannya, rasionalitas menduduki kedudukan yang begitu penting, sehingga Descartes—seorang filosof dari Perancis—mengatakan cogito ergo sum (saya berpikir, maka saya ada).
Berawal dari mendominasinya rasionalitas modern inilah, kemudian peran agama menjadi tereduksi dan didominasi oleh ilmu pengetahuan (modern). Masyarakat menuntut agar agama dapat tampil secara rasional sesuai dengan kndisi sosial ketika itu. Masyarakat menuntut peran agama secara lebih nyata dari apa yang selama ini mereka lihat di lapangan. Dan memang, ketika itu agama hanya terkesan sebagai aktivitas personal dan terlepas dari sistem interaksi sosial. Akibatnya, ketika lembaga agama tidak mampu memenuhi tuntutan masyarakat tersebut, agama mulai ditinggalkan dan diremehkan oleh masyarakat. Apalagi, agama kemudian dijadikan kambing hitam dan dianggap sebagai biang perpecahan dan pertumpahan darah di permukaan bumi.
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa peran agama di masa depan mendapat tantangan yang cukup besar dan tidak dapat diremehkan. Sehingga muncul beberapa pertanyaan yang menarik untuk dikaji. Misalnya, bagaimana model penghayatan keagamaan yang selayaknya diterapkan di tengah masyarakat yang penuh dengan sikap kritis, rasional, objektif, dan individual dan sedang mengalami krisis epistemologis ini? Bagaimana pula sikap dan pandangan kita menghadapi pluralitas agama-agama dunia dan tradisi-tradisi esoterik yang ada, dalam konteks mencari sebuah nilai kebenaran yang abadi?
Setidaknya, itulah beberapa butir pertanyaan menarik yang berusaha dikaji dan dijawab oleh buku ini. Tema sentral buku ini adalah kajian tentang masa depan agama ditinjau dari perspektif filsafat perennial (philosophia perennis, filsafat keabadian), sebuah aliran filsafat tradisional yang akhir-akhir ini kian populer.
Pendekatan kajiannya yang melalui filsafat perennial inilah yang menjadikan buku ini cukup menarik dan layak untuk dibaca. Seperti kita ketahui, belakangan ini ide-ide tentang filsafat perennial di kalangan cendekiawan tersosialisasikan secara intens dan dinamis. Apalagi perbincangan tersebut banyak dimotori oleh tokoh-tokoh pemikiran filsafat ternama, semisal Frithjof Schoun, Seyyed Hossein Nasr, dan sebagainya. Penulis buku ini, Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis,—dua orang staf Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta—adalah termasuk dari pemikir muda yang banyak mengemukakan ide filsafat perennial ini di forum-forum diskusi atau melalui tulisan-tulisannya di media massa.
Buku ini adalah salah satu tulisannya yang memang disusun dan ditulis khusus untuk sebuah buku yang utuh. Karya semacam ini, memang amat jarang sekali dihasilkan oleh para penulis di Indonesia. Kebanyakan, tulisan-tulisan ilmiah populer yang beredar, merupakan kompilasi dari beberapa tulisan yang kemudian disusun menjadi sebuah “buku”. Sehingga, “buku” tersebut kurang menampakkan sebuah ide yang komprehensif. Sisi inilah, yang menambah segi menarik buku ini.
Berbicara tentang pluralitas agama dan tradisi esoterik di dunia ini, filsafat perennial—atau disebut juga al-hikmah al-khalidah—mempunyai pandangan yang cukup menarik. Melihat bahwa terdapat berbagai macam agama dan tradisi esoterik yang berkembang, filsafat perennial menilai bahwa agama-agama dan tradisi-tradisi esoterik tersebut, pada hakekatnya membawa pesan keagamaan yang sama, yang kemudian muncul dalam berbagai nama dan dibungkus dengan bentuk-bentuk dan simbol-simbol berbeda, tetapi tetap merujuk pada hakekat yang sama. Agama-agama tersebut, memiliki sebuah substansi yang sama. Nilai dan pesan kebenaran yang dibawanya adalah sama. Sebab kebenaran abadi itu hanyalah satu. Mengambil analogi kepada cahaya; hakikat cahaya adalah satu dan tanpa warna tetapi spektrum kilatan cahayanya ditangkap oleh manusia dalam berbagai kesan yang beraneka warna. Artinya, walaupun terdapat bentuk-bentuk agama yang berbeda dan dilahirkan pada zaman yang berbeda pula, namun terdapat satu prinsip atau satu hakekat di balik agama-agama dan tradisi-tradisi esoterik tersebut, yang dapat membuatnya bersatu dalam tingkatan transendental.
Namun demikian, bukan berarti filsafat perennial berpandangan bahwa semua agama itu sama. Sebab pandangan semacam itu sama sekali tidak menghormati religiusitas yang partikular dan mereduksi dengan penyejajaran ajaran-ajaran mereka.
Selanjutnya, untuk memperjelas uraiannya ini Komar dan Nafis mengutip istilah yang dibuat oleh Seyyed Hossein Nasr, yang mengatakan bahwa agama itu bisa disebut sebagai sesuatu yang relatively-absolute (absolut secara relatif). Maksudnya, bentuk agama itu adalah sesuatu yang relatif adanya, tapi nilai substansi yang dimilikinya dalam esensi hakiki dan supraformalnya adalah mutlak. Maka, di sinilah satu karakteristik khas yang dimiliki tradisi perennial yang tetap memandang bentuk-bentuk dari agama apapun sebagai keistimewaan partikular yang harus dihormati. Sebagai kelanjutannya, diperlukan sebuah model keberagamaan yang dialogis yang penuh dengan sikap inklusif, simpatik, terbuka, dan sika pparalelisme, yang dimaksudkan untuk dapat memperlebar pintu kebenaran baru dengan memperkaya pesan-pesan luhur keagamaan dan pengalaman-pengalaman spiritual pada agama-agama yang lain.
Dari hal yang demikian ini, sekadang umat Islam—dan umat-umat agama yang lain—mengalami kebingungan teologis dalam memandang dan mensikapi pluralitas agama tersebut. Sedangkan, dalam al-Qur’an sendiri memang disebutkan beberapa isyarat tentang diakuinya pluralitas doktrin teologis. Misalnya pengakuan al-Qur’an terhadap kelompok-kelompok agama yang disebut dengan ahl al-kitab, dan sebagainya.
Mengenai model penghayatan keagamaan yang diperlukan masyarakat modern, Komar dan Nafis memberi gambaran yang juga cukup tegas. Bagi Komar dan Nafis, keberagamaan di masa depan memang menghadapi sebuah tantangan besar di tengah komunitas masyarakat modern yang telah banyak mengalami perubahan di berbagai segi, utamanya dalam hal nilai-nilai serta norma masyarakat. Memang, agama kemudian ditantang untuk dapat menjawab persoalan-persoalan sosial yang kian kompleks vis a vis ideologi sekuler yang juga ada.
Adakalanya, agama menjadi kurang mampu menjawab tantangan untuk menyelesaikan problem kemanusiaan tersebut. Ini terjadi bila agama hanya dipahami dan ditangkap pada dimensi institusinya, sedangkan intuisi dan ruh agama tersebut diabaikan dan kurang dihayati dengan sempurna. Akibatnya, agama sekedar dibaca sebagai sebuah tradisi yang turun temurun dan kurang memiliki daya panggil untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Spirit agama yang paling hanif itu kemudian menjadi terkubur dalam simbol-simbol yang diciptakan oleh pemeluk agamanya sendiri. Di sisi yang lain, ideologi sekuler yang menawarkan jasa bagi penyelesaian problem sosial semakin mendapat tempat di hati masyarakat. Selanjutnya, terjadilah apa yang disebut Komar dan Nafis dengan marginalisasi peran agama dalam interaksi sosial masyarakat. Melihat fenomena ini tak heran bila dua orang futurolog, John Naisbitt dan Patricia Aburdene (suami-istri), meramalkan akan munculnya sebuah kecenderungan baru, Spirituality, Yes; Organized Religion, No.
Maka, agama yang sekiranya dapat diterima oleh masyarakat di masa depan adalah agama yan dapat mencerahkan hati dan akal, agama yang mampu membebaskan manusia dari dominasi dan hijab duniawi, yang memperjuangkan prinsip-prinsip antropik-spiritualisme, dan yang dapat menjadi wadah ekspresi dan manifestasi pencarian makna hidup manusia melalui aktualisasi kemanusiaannya.
Membaca dan menyimak alur pemikiran penulis buku ini dengan cermat dan teliti, memang memiliki keasyikan tersendiri. Apalagi, banyak informasi-informasi baru yang akan kita dapatkan di buku ini, mengenai hal-hal yang mungkin sangat jarang kita temukan. Namun sayangnya, bahasa yang digunakan dalam buku ini, cukup menuntut kita untuk sedikit mengernyitkan dahi, agar dapat memahaminya dengan sempurna. Sehingga mungkin, buku ini tidak dapat dikonsumsi oleh banyak lapisan pembaca.
Di tengah-tengah ramainya perbincangan mengenai studi (antar) agama dalam perspektif filsafat perennial, mungkin tidak berlebihan bila dikatakan bahwa hanya buku inilah yang satu-satunya dapat memberi gambaran yang cukup sempurna mengenai hal tersebut.
Wallahu a’lam.

Tulisan ini disusun sekitar bulan April 1996.

0 komentar: