Kamis, 30 November 1995

Sekilas tentang Pengkajian Ilmu Kalam di Kalangan Muslim

Dari empat disiplin keilmuan yang telah menjadi kajian kaum muslim, ilmu Kalam atau yang dikenal dengan ilmu Tauhid menempati posisi yang cukup terhormat. Ini bisa kita lihat dari penggolongan ilmu Kalam itu sendiri yang dikelompokkan dalam kategori ilmu ushuluddin (ilmu pokok-pokok agama). Apalagi di lingkungan pesantren atau madrasah, kajian tentang ilmu Kalam ini sepertinya sudah tak mungkin untuk ditinggalkan. Hal semacam ini dapat dipahami mengingat kajian ilmu Kalam merupakan bahasan tentang sendi-sendi pokok ajaran Islam yang paling mendasar dan mesti diketahui oleh setiap muslim. Sementara, di bagian yang lain tauhid merupakan ide sentral dari segenap ajaran dalam Islam.

Dilihat dari metode pembahasannya, ilmu Kalam dinilai menggunakan pembahasan yang sangat intelektualistik sifatnya, karena banyak berdasar kepada logika-logika rasional atau penalaran-penalaran logis, walaupun di bagian yang lain ia tetap mengutamakan wahyu.

Mengamati perkembangan pengkajian ilmu Kalam di pesantren atau di madrasah-madrasah cukup menarik sekali. Ilmu Kalam di lingkungan pesantren dan madrasah dipelajari dan dikaji sejak sangat dini, meningat urgensitasnya di antara disiplin keilmuan yang lain. Namun rupanya ada beberapa hal yang sepertinya kurang menjadi perhatian para santri di balik pengkajian ilmu kalam itu sendiri. Pertama, ilmu Kalam yang berkembang di pesantren kebanyakan hanya dipelajari di madrasah (pendidikan formal) saja (bagi pesantren yang mengelola pendidikan formal, atau sistem madrasi). Itupun dengan segala keterbatasan yang ada, misalnya saja alokasi waktu yang disediakan amat sedikit, mengingat banyaknya bidang studi lain di madrasah yang harus dipelajari oleh siswa. Amat jarang sekali ditemukan adanya pengkajian ilmu Kalam di luar sistem pendidikan formal, seperti pengajian kitab oleh para kiai, dan sebagainya. Padahal, untuk menutupi segala kekurangan dalam pengkajian ilmu Kalam di madrasah, perlu sekali adanya pengkajian-pengkajian yang sifatnya ekstrakurikuler.

Kedua, ilmu Kalam yang berkembang selama ini hanyalah sering dipahami sebagai suatu ilmu pengetahuan an sich (baca: ilmu pengetahuan murni), dan tidak dinilai sebagai suatu doktrin yang harus diyakini secara mutlak. Seiring dengan hal tersebut, metode penyampaiannya pun juga menjadi kurang begitu mengarah kepada penananaman doktrin akidah tentang tauhid, tetapi hanya bernilai sebagai sebuah informasi belaka, yang sekadang kurang begitu diindahkan. Padahal, akidah merupakan suatu hal yang sangat mendasar sekali di antara sekian banyak ilmu-ilmu yang lainnya.

Meski demikian, dalam permasalahan ini kita tidak dapat menuduh pihak santri (baca: siswa atau pelajar) ataupun pihak guru sebagai pihak yang disalahkan. Sebab paling tidak, ada beberapa persoalan lain yang membuat suasana pengkajian ilmu Kalam menjadi kurang bergairah.

Bila kita mencoba mencermati materi dari ilmu Kalam, di mana ilmu Kalam tersebut lebih banyak mengarahkan pembahasannya kepada segi-segi mengenai Tuhan dengan berbagai derivasinya. Pengkajiannya pun juga hanyalah berputar-putar pada permasalahan itu. Hal ini bisa kita lihat dari buku-buku tentang ilmu Kalam yang beredar di kalangan masyarakat muslim. Nurcholish Madjid berpendapat bahwa kajian tentang ilmu Kalam hanya meliputi khazanah yang cukup terbatas, yang mencakup jenjang-jenjang permulaan dan menengah saja, tanpa atau sedikit sekali yang menginjak jenjang yang lanjut (advanced). Akibatnya permasalahan yang dibahas dalam buku-buku tentang tauhid yang beredar kebanyakan hampir tidak jauh berbeda. Dalam artian, materi yang dibahas tetap itu-itu saja, berkisar antara permasalahan-permasalahan mendasar saja. Kita bisa membaca dalam buku-buku ilmu tauhid dari yang sangat tradisional hingga yang termasuk modern seperti buku Risalah Tawhid karya Muhammad Abduh, misalnya. Materi pembahasannya bisa dipastikan membahas tentang hukum akal—sebagai pengantar, sifat-sifat Tuhan dan Rasul, malaikat, kitab-kitab wahyu, hari akhirat, maupun qadla dan qadar, yang semuanya itu hanya disampaikan secara umum saja, tanpa adanya suatu pembahasan yang cukup detail. Di samping itu, ruang lingkup pengkajian ilmu Kalam dalam buku-buku yang ada hanya mengupas permasalahan ilmu Kalam secara murni tanpa menyentuh kepada pembahasan esensi ilmu Kalam yang sifatnya fungsional dalam konteks kehidupan bermasyarakat.

Bahkan, di sisi yang lain konsep-konsep ilmu Kalam ataupun konsep-konsep teologis yang ada masih sangat terbatas kepada hal-hal yang berada dalam lingkup institusinya, sementara fungsi utama dari teologi itu sendiri dilupakan. Padahal, bagaimanapun juga harus diyakini bahwa fungsi suatu akidah itu tidak hanya terbatas bagi masalah keibadatan saja, tetapi juga berkait erat dengan permasalahan aktivitas sosial kemasyarakatan. Dalam ungkapan yang lain, dapat dikatakan bahwa ilmu Kalam sudah terjerat kepada adanya suatu gejala ketersendiriannya atau keterpisahannya dari kenyataan sosial kemasyarakatan. Maka yang terjadi selanjutnya adalah ilmu Kalam tidak mampu menyentuh tatanan sosial yang secara kongkrit dialami dan dirasakan dalam hidup keseharian. Dan, akibat yang lebih jauh adalah ilmu Kalam tidak akan hidup bersama di tengah-tengah kehidupan sosial serta tidak akan mampu mengangkat permasalahan mereka.

Dari beberapa uraian tersebut di atas, dirasa penting sekali bagi kita bersama untuk menformulasikan suatu rumusan ilmu Kalam yang mempunyai kemampuan dalam memberi kejelasan, serta makna mendalam yang relevan dengan realitas sosial, sehingga keberadaan ilmu Kalam akan dapat lebih berarti bagi masyarakat. Upaya-upaya ke arah hal ini sebenarnya sudah mulai dirintis oleh sebagian kalangan intelektual muslim, misalnya ketika pada pertengahan tahun 1988 yang lalu Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LKPSM) NU Daerah Istimewa Yogyakarta menyelenggarakan Seminar Nasional tentang Teologi Pembangunan di Kaliurang. Dari seminar yang telah diselenggarakan ini, setidaknya sudah merupakan sebuah terobosan baru sebagai upaya untuk lebih meningkatkan kualitas kebertauhidan masyarakat.

Akhirnya, kita perlu bertanya kepada diri kita masing-masing. Apa yang telah kita sumbangkan?


Tulisan ini dimuat di Jurnal Pentas, Jurnal Keilmuan Siswa Madrasah Aliyah 1 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep edisi pertama bulan November 1995.

Read More..